Senin, 05 Juli 2010

Kosep Tawakal Menurut Alquran

Alquran dengan perintah bertawakal, bukannya menganjurkan agar seseorang tidak berusaha atau mengabaikan hukum-hukum sebab dan akibat. Tidak! Alquran hanya menginginkan agar umatnya hidup dalam realita, realita yang menunjukkan bahwa tanpa usaha, tak mungkin tercapai harapan, dan tak ada gunanya berlarut dalam kesedihan jika realita tidak dapat di ubah lagi. "hadapilah kenyataan. Jika kenyataan itu berkenan di hati anda, atau tidak sesuae dengan harapan anda, maka usahakanlah agar anda menerimanya.

Keyakinan utama yang medasari tawakal adalah keyakinan sepenuhnya akan kekuasaan dan kemahabesaran Allah Swt. Tawakal merupakan bukti nyata dari tauhid. Di dalam batin orang yang bertawakal tertanam iman yang kuat bahwa segala sesuatu terletak ditangan Allah Swt dan berlaku atas ketentuan-Nya. Tidak seorang pun dapat berbuat dan menghasilkan sesuatu tanpa izin dan kehendak Allah Swt, baik berupa hal-hal yang memberikan manfaat atau mudharat dan menggembirakan atau mengecewakan. Sekalipun seluruh makhluk berusaha untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat kepadanya, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan izin Allah Swt.

. Pengertian Tawakkal

Kata tawakkal diambil dari bahasa Arab وكل يكل وكلا yang berarti menyerahkan, mempercayakan, atau mewakilkan.[1] Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, tawakal berarti berserah (kepada kehendak Allah Swt) dengan segenap hati percaya kepada Allah Swt dalam segala penderiataan, cobaan, sesudah berikhtiar baru berserah kepada Allah Swt, pengalaman pahit di hadapi dengan sabar.[2]

Secara terminologis, berbagai definisi tawakkal telah dikemukakan oleh para ahli dan ulama. Definisi tersebut antara lain:

  • Imam al-Ghazâliy mendefinisikan bahwa tawakkal adalah menyandarkan diri kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tentram.
  • Hamka mengartikan bahwa tawakkal adalah menyerahkan segala urusan atau perkara ikhtiar dan usaha kepada Allah swt karena kita lemah dan tak berdaya.
  • Hamzah Ya’qub mengatakan bahwa tawakkal adalah mempercayakan diri kepada Allah dalam melaksanakan suatu rencana, bersandar kepada kekuatan-Nya dalam melaksanakan suatu pekerjaan, berserah diri kepada-Nya pada waktu menghadapi kesukaran.[3]

Adapun menurut ajaran Islam, tawakkal itu adalah menyerahkan diri kepada Allah swt setelah berusaha keras dan berikhtiar serta bekerja sesuai dengan kemampuan dan mengikuti sunnah Allah yang Dia tetapkan.

Pengertian tawakkal bukan berarti tinggal diam, tanpa kerja dan usaha, bukan menyerahkan semata-mata kepada keadaan dan nasib dengan tegak berpangku tangan duduk memekuk lutut, menanti apa-apa yang akan terjadi.[4] Bukan meruapakan pengertian dari tawakkal yang diajarkan oleh Alquran. Melainkan bekerja keras dan berjuang untuk mencapai suatu tujuan. Kemudian baru menyerahkan diri kepada Allah supaya tujuan itu tercapai berkat rahmat dan dan ninayahnya. Sebagaiman Firman Allah:

...فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 159)

Dalam ayat yang telah dikemukan diatas menunjukan pentingnya untuk berusaha dan kemudian baru bertawakkal. Sebagaimana Nabi melakukan musyawarah dahulu dengan para sahabat Nabi kemudian baru bertawakkal kepada Allah dengan berserah kepada-Nya. Beranjak dari sinilah pentingnya usaha dan kerja kerasa sebelum kita bertawakkal, dan Nabi sendiri sangat marah kalau melihat ada seorang muslim yang hanya bertawakkal kepada Allah tanpa usaha dan perjuangan. Dengan demikian tawakkal mengandung pengertian bekerja keras serta berjuang untuk mencapai tujuan dan kepentingan, barulah berserah kepada Allah swt.

B. Hubungan Tawakkal dengan Usaha

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sikap tawakkal itu merupakan penyerahan diri kepada Allah setelah sebelumnya di dahului oleh usaha serta ikhtiar yang keras. Dengan kata lain, tawakkal yang tidak disertai dengan usaha dan ikhtiar bukanlah merupakan sikap tawakkal yang sebenarnya.

Di dalam penerapannya, tawakal terdiri atas tiga tingkat:

1. Tawakal itu sendiri, yaitu hati senantiasa merasa tenang dan tentram terhadap apa yang dijanjikan Allah Swt. Tawakal pada tingkat ini merupakan tawakal yang seharusnya dimiliki oleh setiap mukmin dan menempati peringkat pertama atau peringkat terbawah di dalam maqam tawakal.

2. Taslim, yaitu menyerahkan urusan kepada Allah Swt, karena Dia mengetahui segala sesuatu mengenai dirinya dan keadaannya. Tawakal dalam bentuk ini dimiliki oleh orang tertentu (khawwash) dan menempati peringkat kedua di dalam maqam tawakal

3. Tafwidh, yaitu ridha dan rela menerima segala ketentuan Allah Swt, bagaimanapun bentuk keadaannya. Tawakal semacam ini dimiliki oleh khawash-khawash, seperti Rasulullah Saw. Merupakan maqam tawakal yang tertinggi.[5]

Tawakal kepada Allah pada sisi lain akan membuka pintu rezeki sebagaimana Allah mengilhamkan burung yang terbang di pagi hari dengan perut kosong dan dapat kembali pada waktu petang dengan perut kenyang. Jadi Allah menginginkan kepada makhluknya agar berusaha semampunya serta berserah diri kepada-Nya, dan Allah tidak menyukai makhluknya yang bermalas-malasan dengan kehidupan ini. Perumpamaan burung yang telah di sampaikan Nabi di dalam hadisnya di jelaskan bahwa burung pergi pada waktu pagi dengan usahanya untuk mencari makan dengan tawakal akan mendapat rezeki atau dengan kata lain berpegang dengan ketentuan Allah dan yakin akan mendapat rezeki darinya.

Hubungan antara tawakkal dengan usaha adalah bahwa sebelum bertawakkal, maka harus didahului oleh usaha dan ikhtiar. Mengenai hasil yang diperoleh, maka hal itu sepenuhnya bukan kuasa kita yang menentukan. Jika kita telah berusaha namun hasilnya tidak seperti yang kita inginkan, maka mungkin itu sudah menjadi garis kehidupan kita. Manusia hanya bisa berencana dan berusaha, namun akhirnya Tuhan pulalah yang menentukan hasil akhirnya.

3. Cara Bertawakkal menurut Alquran

Perintah bertawakkal dalam Alquran, terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak sembilan kali, dan dalam bentuk jamak (tawakkalû) sebanyak dua kali. Kesemuanya dapat dikatakan, di dahului oleh perintah melakukan sesuatu, baru kemudian disusul dengan perintah bertawakkal, seperti ayat-ayat berikut:

وَ إِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَ تَوَكَّلْ عَلَى اللهِ...

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kamu kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah…” (QS. Al-Anfâl [8]: 61)

Bertawakal tidaklah berarti meninggalkan upaya, bertawakal mengharuskan seseorang meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala sesuatu, sebagaimana ia harus menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan dengan kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang muslim dituntut untuk berusaha tapi di saat yang sama ia dituntut pula berserah diri kepada Allah SWT, ia di tuntut melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya sebagaimana kehendak dan ketentuan Allah.[6]

Seorang muslim berkewajiban menimbang dan memperhitungkan segala segi sebelum dia melangkahkan kaki. Tetapi bila pertimbangannya keliru atau perhitungannya meleset, maka ketika itu akan tampil dihadapannya Allah Swt., Tuhan yang kepada-Nya dia bertawakal dan berserah diri. Ketika itu yang bersangkutan tidak larut dalam kesedihan dan keputusasaan, karena dia yakin bahwa yang maha kuasa telah bertindak dengan sangat bijaksana dan menetapkan untuknya pilihan yang terbaik.[7]

...وَ إِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَ تَوَكَّلْ عَلَيْهِ...

“…Dan kepada-Nya dikembalikan segala persoalan, maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya…” (QS. Hûd [11]: 123)

Kepada-Nya semua yang menentukan sesudah hidup dan mati. Semua akan di hisab diakhirat. Oleh karena itu sembahlah Allah dan bertawakal kepadanya yakni rahasia langit dan bumi serta rahasia diri sendiripun Allah yang menguasainya. Dengan menghambakan diri dan bertawakal untuk mengisi jiwa dengan kekuatan yang baru buat mengisi atau meneruskan langkah-langkah sambil bekerja dan beramal.[8]

...ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِينَ.

“Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota), maka bila kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang, dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Mâidah [5]: 23).

Ayat ini menjelaskan tentang tentang janji Allah untuk memberikan kemenangan bagi orang-orang yang bertawakal kepada-nya dengan keimanan yang mantap yang telah merasuk kedalam jiwanya.[9]

...فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 159)

Orang yang bertawakal kepada Allah SWT tidak akan merasa kehilangan akal jika ada sesuatu yang menngecewakan dan tidak akan bersombong diri dari apa yang direncanakan sesuai dengan taufik Allah. Dengan sabar dan tawakal maka selalu terbawa untuk memperbaiki diri mana yang kurang dan menyempurnakan mana yang belum sempurna.[10]

Dari ayat-ayat di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa cara bertawakkal menurut Alquran adalah melakukan suatu usaha terlebih dahulu dengan sesempurna mungkin, baru kemudian bertawakkal atau menyerahkan segala urusan pada Allah. Jika memang hasil yang didapatkan baik, maka berarti sesuai dengan usaha serta jerih payah yang telah ditempuh, atau dengan kata lain, sesuai dengan sunnatullah. Namun jika hasil yang diperoleh bersifat sebaliknya, maka dalam hal ini terdapat dua kemungkinan: (1) Hasil yang diperoleh tidak memuaskan karena usaha yang dilakukan kurang maksimal, (2) Usaha telah dilakukan semaksimal mungkin, akan tetapi ketentuan Allah telah menetapkan demikian. Namun di balik semua itu, sebenarnya terkandung hikmah besar yang bisa saja dilihat dengan kasat mata ataupun sebaliknya.

Cara-cara lain bertawakkal kepada Allah selanjutnya adalah sebagai berikut:

1. Mempedomani ajaran Allah;

2. Penuh harapan kepada Allah;

3. Berbaik sangka kepada Allah dengan keyakinan bahwa segala doa yang dipanjatkan akan dikabulkan oleh Allah;

4. Berusaha semaksimal mungkin, kemudian baru menyerahkan segala urusan pada Allah, dengan keyakinan bahwa usaha tersebut akan membuahkan keberhasilan, sebagaimana firman Allah:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ .

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfâl [8]: 2).

E. Hikmah Bertawakal

1. Membuat seseorang penuh percaya diri

2. memiliki keberanian dalam menghadapi setiap persoalan

3. memiliki ketengangan dan ketentraman jiwa

4. dekat dengan Allah dan menjadi kekasih-Nya, di pelihara, ditolong dan dilindungi Allah. Firman Allah swt:

4 `tBur ö@©.uqtGtƒ n?tã «!$# uqßgsù ÿçmç7ó¡ym 4

….Dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (At-Thalaq: 3)

5. Diberikan rezeki yang cukup dan selalu berbakti dan taat kepada Allah Swt.[11]

Adapun mengenai keutamaan tawakal, dalam kitab "Shahihain" pada hadis tentang 70.000 umat Islam yang akan masuk kedalam surga tanpa hisab, dijelaskan bahwa orang-orang yang tidak memakai mantera, tidak percaya pada ramalan, dan mereka hanya bertawakal kepada Allah, mereka itulah yang akan masuk surga tanpa hisab. Diriwayatkan dari Umar bin Khatab bahwa Rasulullah Saw bersabda " jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, maka Allah akan memberikan rezeki kepada kalian. Sebgaimana Allah memberikan rezeki kepada burung, ia pergi dengan perut kosong dan pulang dengan perut penuh berisi. (HR. Ibnu Majah).

Kesimpulan

Orang yang bertawakal kepada Allah tidak akan berkeluh kesah dan gelisah. Ia akan selalau berada dalam ketenangan dan ketentraman, dan kegembiraan. Jika ia memperoleh nikmat dan karuni adari Allah Swt, ia akan bersyukur dan jika tidak ia akan bersabar. Ia menyerahkan semua keputusan, bahkan dirinya sendiri, kepada-Nya. Penyerahan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan semata-mata karena Allah Swt. Namun tidak berarti orang yang bertawakal harus meninggalkan semua usaha dan ikhtiar. Usaha dan ikhtiar itu harus tetap dilakukan, sedangkan keputusan terakhir di serahkan kepada Allah Swt.


DAFTAR PUSTAKA

Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indnesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1985.

Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset, 2006.

M. Ishom Elsaha dan Saiful Hadi, Sketsa Alquran, Jakarta, Rineka Cipta 2005.

Quraish Shihab, M, Tafsir Al-Misbah, .Jakarta, Lentera Hati, 2002


[1] Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. I, h. 120.

[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indnesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 908.

[3]M. Ishom Elsaha dan Saiful Hadi, Sketsa Alquran, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2005) h. 738.

[4] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2006), Cet. VII, h. 45.

[5] M. Ishom Elsaha dan Saiful Hadi, Op., Cit., h. 739.

[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002). h. 488.

[7] Ibid.,

[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985) Juz III, h. 135

[9] Quraish Shihab, Op., Cit., 66.

[10] Hamka Op., Cit., Juz XII, h. 163.

[11] M. Ishom Elsaha dan Saiful Hadi, Op., Cit., h. 740.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar