Minggu, 04 Juli 2010

Al-Hakim

Al-Hakim

Pada abad ke-4, pada masa ke-khalifah-an, dunia Islam terpecah menjadi tiga kekuasaan besar, yang secara struktural dan spiritual terpisah satu sama lain. Fase ini dalam sejarah Islam diklasifikasikan sebagai fase disintegrasi. Ke-khalifah-an tersebut ialah Bani Fathimiyah di Afrika Utara dengan pusat pemerintahannya di Mesir; ke-khalifah-an Bani Umayyah di Andalus dengan ibukotanya Cordoba; ke-khalifah-an Bani Abbas dengan pusat pemerintahannya di Baghdad.
Persaingan antara penguasa spiritual dan temporal ini cukup tajam dan pihak yang selalu menang adalah penguasa temporal. Pembunuhan terhadap khalifah atau mengasingkannya dari pusat pemerintahan ke tempat lain yang jauh dari Baghdad-seperti ke kota Samara-merupakan jalan pintas yang sering dilakukannya. Perlakuan penguasa Bani Buwayh seperti itu terhadap khalifah, tentu akan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat yang mayoritas Sunni. Situasi ini mau tidak mau, akan menggoyah stabilitas politik dalam negeri. Kenyataannya adalah ke-khalifah-an yang paling goyah di antara ketiga ke-khalifah-an yang ada.
Ketidakstabilan politik ini berdampak kepada ketidakstabilan ekonomi. Negara terus menerus mengalami defisit karena pengeluaran untuk anggaran belanja Negara lebih besar daripada pemasukan yang ada. sedangkan pemasukan dari daerah-daerah kesultanan sangat minim sekali karena para penguasa daerah, sultan, dan gubernur merasa sudah berdiri secara “otonom”, sehingga tidak perlu lagi untuk terlalu taat kepada pemerintahan pusat. Ini adalah salah satu proses desentralisasi atau bentuk pemberontakan kecil; satu upaya melakukan dekonstruksi terhadap posisi pusat. Dan ternyata, negara-negara kecil di ke-khalifah-an Bani Abbas, hanya khalifah Samaniyah yang masih mengirim pajak penghasilan ke Baghdad.
Perbedaab mazhab dan sekte keagamaan yang tumbuh pada waktu itu, baik yang berada dikalangan masyarakat maupun penguasa seringkali terjadi perselisihan dan huru hara. Kejadian yang seperti ini terjadi antar golongan. Seperti Andalus yang Sunni, idrisi yang alawi, fathimiyah dan Qarmatiyah yang syiah Ismailliyah, Yaman dan Tibristan dan Zaidiyah, bani hamdan yang rafidhah, dan penguasa Baghdad yang syiah Itsna Asyariyah, merupakan sisi lain yang menjadi sumber ketegangan itu
Pada abad 4 H banyak bermunculan tokoh-tokoh, diantaranya adalah at-Thabari, al-Mas’udi,, sebagai ahli sejarah, al-Maturidi, dan al-Bazdawi, sebagai teolog; Ibnu Sina sebagai failasuf; Ibnu Hibban, Abu Hatim, Abu Zur’ah, al-Daruquthni, al-Khaththabi, Ibnu Khuzaimah,dan al-Hakim dalam bidang hadis. Dalam penyusunan suatu kitab metode yang mereka gunakan berbeda satu sama lain. Walaupun pada abad 4 H tidak seperti perkembangan abad 3 H yang mencapai puncak kemajuannya. Karena pada abad 4 H keadaan politik, ekonomi, dan perkembangan intelektualnya mengalami kemorosotan. Untuk itulah kami sebagai pemakalah ingin mengupas beberapa sejarah ahli hadis pada abad 4 H. ini. Pada pembahasan makalah ini, kami sebagai pemakalah lebih menekankan pada sosok al-Hakim, yang mencakup sekilas biografi al-Hakim (nama, guru-guru, murid-murid serta karya-karyanya), dan sekilas tentang al-Mustadrak al-Sahihain (latar belakang penyusunan kitab, metode penyusunan kitab, dan penilain para ulama).

A. Profil al-Hakim
1. Nama, Nasab, dan Kurun Hidupnya
Al-Hakim nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamdun bin Hakam bin Nu’aim bin al-Bayyi’ al-Dabbi al-Tahmani al Naisaburi dilahirkan di Naisabur pada hari senin 12 Rabi’ul awwal 321 H. Beliau sering disebut dengan Abu ‘Abdullah al-Hakim al-Naisaburi atau Ibn al-Bayyi’ atau al-Hakim Abu Abdullah.
Ayah al-Hakim, Abdullah bin Hammad bin Hamdun adalah seorang pejuang yang dermawan dan ahli ibadah serta sangat loyal terhadap penguasa Bani Saman yang menguasai daerah samaniyah . Dalam catatan sejarah, daerah samaniniyah pada abad 3 H telah melahirkan tokoh-tokoh hadis kenamaan semisal Al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmizi, al-Nasa’I serta Ibnu Mazah.
Dalam perjalanan hidupnya selama 84 tahun, al-Hakim telah melakukan kiprah yang memberi kontribusi cukup besar dalam bidang hadis melalui karya monumentalnya, al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain. Namun pada bulan Safar 405 H, al-Hakim menghembuskan nafas yang terakhir, memenuhi panggilan-Nya.
2. Guru-gurunya
Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa al-Hakim telah berguru kepada 1000 orang lebih. Diantara guru-gurunya adalah.
a) Muhammad bin Ya’qub al-‘A’sam
b) Muhammad bin Ali Al-Muzakkir
c) Al-Daruqutni
d) Ibnu Hibban
e) Al-Hasan bin Ya’qub Al-Bukhari
f) Abu Ali Al-Naisaburi
g) Muhammad bi al-Qasim al-Ataki
h) Ismail bin Muhammad al-Razi
i) Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Abdillah al-Baghdadi al-Jamal
j) Ali bin Hamsad al-adl.
3. Murid-murid al-Hakim
Di antara murid-muridnya adalah Abu Al-Falah bin Ubay bin al-Fawari, Abu al-A’la al-Wasiti, Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub, Abu Zarr al-Hirawi, Abu Ya’la al-Khalili, dan sebagainya.
4. Karya-karya al-Hakim
Di antara kitab-kitab yang pernah di tulis al-Hakim adalah :
a. Takhrij al-Sahihai
b. Tarikh al-Naisabur
c. Fadail al-Imam al-Syafi’i
d. Fadail al-Syuyukh
e. Al-‘Ilal
f. Tarikh ‘Ulama al-Naisabur
g. Al-Madkhal ila ‘Ilm al-Sahih
h. Al-Madkal ila al-Iklil, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis,
i. Al-Muzakkina li Ruwat al-Akhbar
j. Al-Mustadrak ‘ala al-sahihain dan lain-lain

B. Latar Belakang Penyusunan Kitab Al-Mustadrak ‘Ala al-Sahihaini
Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya inesiatif al-Hakim dalam penulisan kitab Al-Mustadrak Ala al-Sahihaini adalah:
a) Faktor Internal
1. Menurut al-Hakim masih banyak hadis sahih yang berserakan, baik yang belum dicatat oleh para ulama, maupun yang sudah tercantum dalam beberapa kitab hadis yang ada.
2. Penegasan pengarang Sahihain, Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa tidak semua hadis shahih telah terangkum dalam kitab sahihnya.
b) Faktor eksternal
1. Kondisi politik, Intelektual dan ekonomi. Dari segi politik pada abad 4 H. (Masa disigrasi), wilayah Islam terpecah kedalam 3 kekuasaan besar; Bani Fatimiyyah di Mesir, Bani Umayyah di Cardova, dan Bani Abbasiyah di Bagdad. Ketiganya saling bermusuhan.
2. Para penguasa Saman secara sfesifik memberi atensi yang cukup besar dalam merespon pengembangan ilmu pengetahuan.
3. Pada abad 4 H. tingkat kemajuan intelektual di dunia Islam secara umum mengalami kemerosotan dibanding abad 3 H. hal tersebut justeru memacu al-Hakim untuk membangun paradigma baru khusus dalam keilmuan hadis.

C. Metode dan Kriteria al-Hakim
Para ulama hadis dalam menentukan ke sahihan dan kelemahan suatu hadis mereka mulai dengan menentukan prinsip-prinsip dasar suatu hadis. Hal ini merupakan suatu cara untuk menetapkan status kedudukan hadis. Langkah sperti ini (prinsip) memungkinkan terjadinya perbedaan nuansa antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya. Nuansa perbedaan tersebut secara tidak langsung akan terimbas dalam menetapkan kedudukan suatu hadis.
Untuk menjaga kemurnian ajaran islam yang bersumber dari hadis, para ulama membangun prinsip yang akan mereka pergunakan sebagai landasan metodologis. al-Hakim juga memiliki prinsip yang dia gunakan dan dia perpegangi sebagai landasan metodologisnya, yaitu prinsip ijtihad, prinsip status sanad, dan prinsip status matan.
1. Ijtihad
Prinsip Ijtihad sebenarnya bukan dipergunakan al-Hakim saja. Prinsip seperti ini sudah digunakan para ulama sebelum dan sesudahnya. Mereka menggunakan istilah ijtihad untuk menentukan shahih atau tidaknya suatu hadis
Dalam melakukan prinsip ijtihad. Para ulama menggunakan pendekatan sanad dan matan. Dengan kata lain, para ulama dalam menentukan keshahihan suatu hadis tidak hanya melihat pada satu sudut pandang saja, tetapi mereka melihat dari dua sudut pandang. Yaitu sanad dan matan, prinsip tersebut kemudian dijadikan prinsip oleh al-hakim. Karena prinsip ijtid ini. Maka praktek yang dilakukan al-Hakim dalam menentukan status hadis bisa berbeda, baik dengan para pendahulunya.
2. Prinsip status sanad
sanad memiliki kedudukan yang sangat penting dalam memlihara ke sahih-an hadis. Karena sanad memiliki kedudukan yang sangat tinggi, sehingga menjadi penentu status hadis. Dan dari penentuan status sanad inilah pada tahap berikutnya muncul konsep-konsep yang menunjukkan sanad paling shahih, paling baik, dan paling lemah.
al-Hakim dalam penentuan status hadis menerapkan double standard yakni ketat (tasyaddud) dan longgar (tasahul). Al-Hakim ketat terhadap hadis-hadis yang berhubungan dengan aqidah dan syaria’ah (hukum halal, haram, muamalah dan sebagainya). Sedangkan longgar terhadap hadis-hadis yang terkait dengan fadail al amal dan sejarah.
Disini kita dapat melihat criteria sanad yang digunakan oleh al-Hakim. Al-Hakim lebih menjaga aqidah dan hukum-hukum syar’i dalam sanadnya dan al-Hakim melonggarkan sedikit hal-hal yang berkenaan dengan keutamaan amal dan yang mubah.
Aku InsyaAllah dalam hal doa akan memperlakukan (sesuai) dengan mazhab Abdul Al-Rahman bin al-Mahdi, yaitu yang mengatakan, “Bila kami meriwayatkan tentang halal dan haram, kami bertindak ketat dalam menilai rijalnya, dan bila kami meriwayatkan tentang keutamaan amal yang mubah, kami longgar dalam menilai sanad-sanadnya.”
3. Prinsip status matan
Matan dan sanad adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena tanpa salah satu dari keduanya kita tidak dapat mengetahui kedudukkan hadis tersebut, apakah sahih, dhaif atau hasan.
Al-Hakim menyadari bahwa status matan perlu atau harus di kaji dan di teliti, karena Al-Hakim pernah menyatakan, “Sesungguhnya hadis shahih itu tidak hanya di ketahui dengan keshahihan riwayat, tetapi juga dengan pemahaman, hafalan dan banyak mendengar.” Keadaan Al-Hakim dengan kepentingan matan tersebut dan kemudian melahirkan berbagai konsep rajah, marjuh, nasikh, mansukh dan sebagainya.

D. Metode yang digunakan al-Hakim dalam Penyusunan Kitab al-Mustadrak
Kitab almustadrak susunan al-hakim ini, tersusun dalam bab-bab berdasarkan bab-bab yang ada dalam kitab-kitab al-Bukhari dan Muslim.
Hadis yang termuat dalam kitab al-Mustadrak susunan al-Hakim ini, menurut al-Hakim sendiri, terbagi kepada tiga macam. Yakni :
1. Hadis-hadis yang shahih yang ditakhrijkan oleh al-Hakim berdasarkan syarat-syarat periwayatan yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim, atau salah seorang dari padanya, sedang al-Bukhari sendiri tidak mentakhrijkan hadis tersebut.
2. Hadis-hadis yang shahih menurut kriteria al-Hakim sendiri. Jadi dalam hal ini, al-Hakim tidak menggunakan syarat-syarat periwayatan al-Bukhari dan Muslim, atau salah seorang diantaranya.
3. Hadis-hadis yang oleh al-Hakim sendiri dinilai tidak shahih.
E. Penilaian Ulama Tentang al-Hakim
Beberapa ulama dalam menilai al hakim memiliki beberapa pandangan, ada yang memuji dan ada juga yang mencelanya. Pujian yang diberikan kepada al hakim di lihat dari sudut pandang kemampuan ilmiahnya, hal ini terbukti dari gelar-gelar yang diberikan kepadanya, seperti al- Hafizh al-Kabir, al-Naqid, Syaykh al-Muhadditsin. Disamping pujian yang diterima al-Hakim krituk yang pedas pun diterima. Hal ini terebkti dari tuduhan yang pernah dilontarkan kepadanya, baik mengenai aqidah maupun terhadap kitabnya. Adapun beberapa komentar itu seperti di bawah ini:
Pertama: mereka yang mendakwa beliau adalah seorang ahli hadis tetapi pada masa yang sama juga adalah seorang Syi‘ah al-Rafidhah yang jahat. Oleh itu disahihkan hadis-hadis yang tidak sahih bertujuan mencemari asas-asas Ahl al-Sunnah dan pada waktu yang sama membenarkan Mazhab Syi‘ah.
Hal ini dijelaskan oleh al-Zahabi: “Beliau merupakan seorang yang dipercayai tetapi beliau mensahihkan di dalam kitab Mustadraknya itu beberapa hadis yang digugurkan dan begitu banyak boleh dijumpai di dalamnya. Aku tidak mengetahui apa yang dia sembunyikan daripada hal itu atau sememangnya dia tidak mengetahui perkara tersebut (dari kejahilannya sendiri).
Sekiranya dia mengetahui kesalahan yang dia lakukan itu dan disengajakan, maka itu merupakan perbuatan khianat dan dia adalah seorang Syiah yang sememangnya masyhur dengan perlakuan sedemikian dalam mengambil hadis yang bercanggah dengan hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim.” [Kitab Mizan Iktidal]
Perkataan yang agak ‘keras’ dilafazkan oleh Abu Ismail Abdullah al-Ansari apabila ditanya tentang al-Hakim: “Beliau ialah seorang imam dalam hadis dan juga Rafidhah yang najis.”
Berkata pula Ibn Thahir al-Maqdisi: “Beliau adalah seorang yang begitu fanatik dalam jiwanya terhadap Syiah. Beliau menampakkan dirinya sunnah dengan mendahulukan para khulafa yang awal, tetapi mula bersikap menyeleweng tentang Mu’awiyah dan ahli keluarganya secara terang dan langsung tidak memohon maaf atas kesalahannya”.
Al-Zahabi berkata: “Aku mengambil jalan sederhana dengan menyatakan bahawa beliau bukanlah Rafidhah (pelampau Syiah) tetapi hanya sekadar seorang Syiah. [Kitab Mizan Iktidal]
Pendapat ini dianggap lemah malah ditolak oleh Ahl al-Sunnah. Ini kerana Mazhab Ahl al-Sunnah tidak menghukum seseorang melainkan pada amal zahirnya. Amalan zahir al-Hakim tidak menunjuk atau mengisyaratkan apa-apa tanda bahawa beliau bermazhab Syiah al-Rafidhah.
Perkara paling utama yang boleh dikatakan tentang al-Hakim ialah beliau hanya mengutamakan kecintaan kepada para Ahl al-Bait dan ini dikenali sebagai al-Tasyaiyu’ atau al-Mufadhdhilah.
Kedua: Bagi usaha mengumpulkan 8,803 buah hadis yang sahih menurutnya. al-Hakim telah mengambil jangka masa yang begitu lama sehingga ke penghujung hayatnya. Dalam jangka masa yang lama ini, sebagaimana kebiasaannya bagi orang yang berusia lanjut mereka tidak begitu mantap dalam menghukum darjat sesebuah hadis, bahkan sering tersilap.
Kecerdasan fikiran yang semakin lemah dan berkemungkinan nyanyuk telah menyebabkan al-Hakim banyak membuat kesilapan di dalam periwayatan hadis dalam al-Mustadrak sehingga ke tahap mensahihkan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang pernah ditolaknya sendiri dalam kitab yang lain.
Oleh kerana kesilapan yang begitu menjejaskan ini dalam lapangan ilmu hadis, sebahagian ahli hadis menganggap lemah pensahihan hadis al-Hakim sehingga tidak boleh berhujah dengannya melainkan disemak semula.
Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (852H) menerangkan: (al-Hakim adalah) seorang imam yang sangat benar dan juga seorang yang sangat bahaya, paling utama yang disebutkan tentangnya adalah dia digolongkan di kalangan orang-orang yang dha‘if. Tetapi telah diperkatakan oleh sebahagian ulama tentang keuzurannya kerana dia menulis kitab al-Mustadrak ketika di penghujung umurnya. Malahan sebahagian yang lain menyebutkan bahawa beliau telah mulai tidak kuat mengingat dan nyanyuk pada usia tersebut.
Ketiga: al-Hakim dalam periwayatan hadis agak bermudah-mudahan (tasahul) di dalam mensahihkan sesuatu hadis. Ini sebagaimana terang Ibn al-Shalah rahimahullah (643H): ”Dan dia (al-Hakim) meluaskan syarat penetapan hadis sahih dan mengambil sikap bermudah-mudahan dalam menghukum dengannya.”
Ibn Dihyah di dalam kitabnya al-‘Ilm berkata: “Menjadi kewajipan kepada ulama hadis untuk berwaspada pada setiap perkataan al-Hakim Abu Abdullah kerana dia banyak berbuat silap, menzahirkan hadis-hadis yang tertolak.”
Berkata Abu Sa’id al-Malini: “Aku telah melihat kitab al-Mustadrak yang dikarang oleh al-hakim daripada mula hingga akhir dan kau tidak jumpa sebuah hadis yang terdapat syarat kedua imam tersebut (al-Bukhari dan Muslim).”Berkata al-Zahabi dalam mengomentari pendapat tersebut: “Ini merupakan pendapat yang melampau oleh al-Malini, sedangkan masih terdapat sejumlah hadis yang menepati syarat kedua imam tersebut dan sejumlah besar lagi mengikut syarat salah seorang dari keduanya. Moga kedua syarat tersebut memenuhi setengah kitabnya, seperempat di kalangan hadis yang sah dari aspek sanadnya sekalipun terdapat sedikit kecacatan, dan seperempat lagi yang mengandungi hadis munkar dan lemah yang tidak sah diamalkan serta selebihnya adalah hadis palsu.” [Tazkirat al-Huffaz]

Kesimpulan
Di dalam penyusunan kitab al Mustadrak al-Hakim disebabkan beberapa faktor, yaitu:
Faktor Internal
1 Menurut al-Hakim masih banyak hadis sahih yang berserakan, baik yang belum dicatat oleh para ulama, maupun yang sudah tercantum dalam beberapa kitab hadis yang ada.
2 Penegasan pengarang Sahihain, Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa tidak semua hadis shahih telah terangkum dalam kitab sahihnya.
Faktor Eksternal
1. Kondisi politik, Intelektual dan ekonomi. Dari segi politik pada abad 4 H. (Masa disigrasi), wilayah Islam terpecah kedalam 3 kekuasaan besar; Bani Fatimiyyah di Mesir, Bani Umayyah di Cardova, dan Bani Abbasiyah di Bagdad. Ketiganya saling bermusuhan.
3 Para penguasa Saman secara sfesifik memberi atensi yang cukup besar dalam merespon pengembangan ilmu pengetahuan.
4 Pada abad 4 H. tingkat kemajuan intelektual di dunia Islam secara umum mengalami kemerosotan dibanding abad 3 H. hal tersebut justeru memacu al-Hakim untuk membangun paradigma baru khusus dalam keilmuan hadis.
Faktor-faktor tersebut mempengaruhi al-Hakim dalam penyusunan kitabnya.
Di dalam kitab al-Hakim tersebut banyak terdapat hadis-hadis yang tidak sahih menurut beberapa ulama sesudahnya. Menurut hemat kami, hal itu wajar terjadi, karena para ulama sering mengkritik.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis. Jakarta: Paramadina. 2000.

Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2003. Cet. Ke -1

http://mohdfikri-com/blog/buku-melayu/buku-the-seven-hadis of-highly-effective-people.html

Ismail, M. Syuhudi. Pembahasan Kitab-Kitab Hadis. Ujung Pandang: 1989.

Katsir, Ibnu, al-Bidayah wa al-Nihayah,. Beirut: Dar al-Fikr. 1977. Cet. Ke-2.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar