Senin, 05 Juli 2010

Kaedah Dhâmir dalam Alquran

Alquran al-Karim adalah mukjizat agama Islam yang kekal dan mukjizat-Nya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Alquran diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad saw untuk mengeluarkan manusia dari situasi yang sesat dan gelap menuju keadaan yang terang dan lurus, serta membimbing umat manusia kepada jalan kebenaran. Rasulullah menyampaikan alquran itu kepada para sahabatnya yang merupakan orang-orang Arab asli, karena hal itulah mereka dapat memahami alquran berdasarkan kepada naluri mereka. Dan apabila mereka menemukan ayat yang mereka tidak mampu untuk memahaminya, maka menanyakannya langsung kepada Rasulullah.

Bahasa Arab sendiri bagi kaum Muslimin memiliki arti penting. Di samping diyakini sebagai bahasa yang dipilih Allah, ia juga merupakan bahasa peribadatan. Artinya bahwa karena Alquran merupakan kumpulan firman Allah, maka huruf-huruf, kata-kata, dan struktur bahasa yang terdapat dalam Alquran itu juga dinilai sebagai bagian dari ajaran agama.

Salah satu materi kajian yang termasuk dalam persoalan linguistik Alquran adalah kaedah Dhamîr. Berikut akan dipaparkan lebih lanjut tentang kaedah linguistik ini.


A. Kaedah Dhâmir dalam Alquran

Secara etimologis, dhamîr berasal dari kata dasar adh-dhumur’ yang berarti kurus kering, sebab, dilihat dari segi bentuknya memang terlihat ringkas dan kecil. Kata dhamîr juga bisa diambil dari kata al-idhmâr, yang berarti tersembunyi, sebab banyak yang tidak tampak bentuk nyatanya.[1] Sedangkan, secara terminologis, dhamîr adalah lafazh yang digunakan sebagai pengganti, baik kata ganti orang pertama (dhamîr mutakallim), orang kedua (dhamîr mukhattab), maupun orang ketiga (dhamîr ghâîb).[2]

Dhamîr secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian:

1. Dhamîr barîz, yaitu dhamîr yang bentuknya berwujud lafazh.

Dhamîr barîz ini dapat dibagi lagi menjadi dua bagian:

a. Dhamîr muttashil, yaitu dhamîr yang tidak dapat digunakan sebagai mubtada’ dan tidak dapat pula jatuh setelah illa (istitsna), kecuali dalam keadaan terpaksa.

b. Dhamîr munfashil, yang merupakan kebalikan dari yang pertama, yaitu dhamîr yang dapat digunakan sebagai mubtada’ dan dapat jatuh setelah illa dalam keadaan apapun. Dhamîr jenis ini dibagi 24 macam, 12 dalam keadaan marfu’, yaitu anâ; nahnu; anta; anti; antumâ; antum; antunna; huwa; hiya; humâ; dan hunna, dan 12 lagi dalam keadaan manshûb; yaitu iyyâya; iyyânâ; iyyâka; iyyâki; iyyâkumâ; iyyakum; iyyâkunna; iyyâhu; iyyâhâ; iyyâhumâ; iyyahum; dan iyyaâhunna. [3]

2. Dhamîr mustatîr, yaitu dhamîr yang tersembunyi.

Dhamîr mustatîr ini juga dapat dibagi menjadi dua bagian:

a. Dhamîr mustatîr wujûb, yaitu dhamîr yang harus disimpan. Dhamîr jenis ini berada dalam enam tempat, diantaranya: (1) fi’l mudhâri’ yang disandarkan kepada mutakallim, baik mufrad maupun jama’; (2) fi’l amr dan mudhâri’ yang disandarkan kepada dhamîr mufrad mudzakkar mukhattab; (3) isim fi’l yang disandarkan kepada dhamîr mutakallim atau mukhattab; (4) fi’l ta’ajjub yang mengikuti wazan mâ af’ala; (5) fi’l yang dipakai untuk mengecualikan (fi’l istitsna’); dan (6) mashdar yang berfungsi sebagai pengganti fi’l.

b. Dhamîr mustatîr jawâz, yaitu dhamîr yang pada tempat dhamîr tersebut dapat ditempati oleh ism zhâhir. Dhamîr jenis ini bertempat pada fi’l yang disandarkan kepada mufrad mudzakkar ghâib dan mufrad muannats ghâibah.

Untuk jenis dhamîr yang disebutkan pertama (dhamîr mutakallim) meliputi anâ (saya) dan nahnu (kami). Kata ganti untuk orang pertama dalam bahasa Arab tidak mempunyai identitas gender. Artinya bahwa kata anâ merupakan kata ganti orang pertama tunggal yang dapat digunakan untuk laki-laki dan perempuan. Demikian pula kata nahnu, dijadikan untuk kata ganti orang pertama, tetapi untuk menyebutkan lebih dari satu orang, baik laki-laki ataupun perempuan. Contohnya adalah seperti terdapat dalam QS. Al-Hijr [15]: 9.

Sedangkan untuk jenis yang disebutkan kedua (dhamîr mukhattab) dapat dibagi menjadi tiga macam: (1) kata ganti untuk orang kedua tunggal, baik laki-laki (mufrad mudzakkar mukhattab), meliputi anta dan ka, seperti terdapat dalam QS. Al-Mâidah [5]: 24 dan QS. Al-Baqarah [2]: 129, serta perempuan (mufrad muannats mukhattab), meliputi anti dan ki, seperti terdalam dalam QS. An-Naml [27]: 42; (2) kata ganti orang kedua untuk dua orang (mutsanna mukhattab), baik keduanya laki-laki, keduanya perempuan, atau satu laki-laki dan satunya perempuan, meliputi antumâ dan kumâ, baik yang tampak (zhahîr) maupun yang tersembunyi (mustatîr), seperti terdapat dalam QS. Al-A’râf [7]: 19; dan (3) Kata ganti orang kedua jamak, baik untuk laki-laki (jama’ mudzakkar mukhattab) maupun untuk perempuan (jama’ muannats mukhattab), meliputi antum dan kum, serta antunna dan kunna, seperti terdapat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 187.

Sementara itu, untuk jenis yang disebutkan terakhir (dhamîr ghâib) juga dapat dibagi menjadi tiga macam: (1) kata ganti untuk orang ketiga tunggal, baik untuk laki-laki (mufrad mudzakkar ghâib) yang biasa disimbolkan dengan kata hu atau hi pada akhir kata seperti terdapat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 29, atau untuk perempuan (mufrad muannats ghâib) yang biasa disimbolkan dengan kata hiya, atau menambahkan huruf pada akhir kata, seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 271; (2) kata ganti orang ketiga yang menunjukkan dua orang (mutsanna ghâib), baik keduanya laki-laki, perempuan, atau seorang laki-laki dan seorang perempuan, biasa disimbolkan dengan humâ, seperti terdapat dalam QS. At-Tawbah [9]: 40; dan (3) kata ganti orang ketiga jamak, baik laki-laki (jama’ mudzakkar ghâib) yang disimbolkan dengan kata hum, seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 8, ataupun perempuan (jama’ muannats ghâibah) yang biasa disimbolkan dengan hunna, seperti dalam QS. [2]: 187.

B. Fungsi Dhamîr

Sebagaimana telah disinggung pada awal pembahasan ini bahwa fungsi dhamîr adalah untuk mempersingkat (li al-ikhtishâr) suatu kalimat.[4] Atau dengan kata lain bahwa dhamîr dibutuhkan untuk menggantikan penyebutan kata-kata yang banyak dan menempatinya tanpa harus mengubah makna yang dimaksud.[5] Hal ini seperti ditunjukkan oleh firman Allah dalam QS. Al-Ahzâb [33]: 35:

إِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِيْنَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِيْنَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِيْنَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِيْنَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِيْنَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِيْنَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِيْنَ فُرُوْجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَ اللهُ لَهُمْ مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيْمًا

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”[6]

Dhamîr ( هُمْ) yang terdapat pada ayat أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيْمًا menggantikan 20 kata yang disebutkan sebelumnya.[7] Seandainya dhamîr tersebut tidak ada, maka secara kuantitas, kalimat yang terdapat pada ayat tersebut akan semakin panjang dan dapat dikatakan kurang efisien.

Contoh senada juga dapat ditemui dalam QS. An-Nûr [24]: 31, dimana dhamîr hunna menggantikan 18 kata yang disebutkan sebelumnya, yaitu lafazh al-Mu’minât. Ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُوْرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِيُنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْآبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخُوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa (nampak) daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.”[8]

C. Rujukan (Marji’) Dhamîr

Dari ketiga macam dhamîr yang telah dijelaskan sebelumnya, dhamîr ghâib merupakan satu-satunya dhamîr yang mengharuskan adanya marji’, yaitu tempat kembali atau penjelas dari kata-kata yang digantikannya. Sementara itu, untuk kedua dhamîr lainnya, keduanya tidak memerlukan marji’ atau tempat kembalinya, sebab keduanya telah dapat diketahui maksudnya secara jelas melalui keadaan yang menyertainya.[9]

Kaidah yang umum ditetapkan oleh para ulama ahli bahasa adalah bahwa tempat kembalinya dhamîr ghâib harus mendahuluinya.[10] Hal ini dimaksudkan agar apa yang dimaksud dapat diketahui lebih dahulu. Demikian pula, harus sesuai dengan apa yang disebutkan, baik dalam hal mudzakkar, muannats, mufrad, tatsniyyah, maupun jama’-nya. Dhamîr ghâib tidak boleh kembali pada lafazh yang belakangan, baik dalam pengucapan dan kedudukannya, kecuali ada qarînah (indikasi) yang menunjuk pada hal tersebut. Mengenai hal ini, Ibn Mâlik dalam At-Tashil mengatakan:

“Pada dasarnya, tempat kembali dhamîr ghâib itu harus didahulukan, dan tidak diperbolehkan melanggarnya kecuali terdapat dalîl yang menunjukkan hal tersebut. Terkadang ia dijelaskan lafazhnya dan terkadang pula tidak dijelaskan karena adanya dalîl, baik yang indrawi maupun yang diketahui melalui penalaran (‘ilmi), atau karena telah disebutkannya baik sebagian, keseluruhan, imbangannya atau yang menyertainya, dalam bentuk apapun.”[11]

Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa marji’ dhamîr ghâib adalah lafazh yang telah disebutkan sebelumnya dan harus sesuai dengannya, baik dalam hal mudzakkar, muannats, mufrad, tatsniyyah, maupun jama’-nya, kecuali kalau ada qarînah yang menyatakan lain. Ketentuan umum semacam ini banyak ditemukan dalam Alquran, baik yang diungkapkan dalam bentuk tersurat (malfûzhan) maupun yang tersirat (mutadhamminan), yaitu yang terkandung dalam lafazh yang disebutkan sebelumnya. Contoh dhamîr yang diungkapkan dalam bentuk tersurat seperti dalam beberapa teks Alquran berikut ini, yaitu QS. Hûd [11]: 42: وَنَادَى نُوْحٍ ابْنَهُ (…dan Nûh memanggil anaknya…). Dhamîr hu pada lafazh ibnahu kembali pada lafazh Nûh.[12]

Sedangkan untuk dhamîr yang diungkapkan dalam bentuk tersirat, antara lain seperti dalam QS. Al-Mâidah [5]: 8:

يَاأَيُّهَا الَّّذِيْنَ ءَامَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ ِللهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أّلاَّ تَعْدِلُوْا اعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[13]

Dhamîr huwa yang terdapat pada ayat di atas kembali pada lafazh yang disebutkan sebelumnya, yaitu lafazh al-‘adlu (keadilan) yang terkandung dalam lafazh i’dilû. Dengan demikian, pengertiannya bahwa keadilan itu lebih dekat kepada ketakwaan.[14]

Meskipun kaidah yang umum mengatakan bahwa marji’ dhamîr ghâib harus kembali pada lafaz yang telah disebutkan sebelumnya, namun dalam Alquran juga ditemukan bahwa marji’ dhamîr ghâib kadang-kadang terletak sesudah dhamîr itu sendiri. Hal ini terjadi hanya dalam pengucapannya, bukan dalam kedudukannya. Seperti ditunjukkan oleh firman Allah dalam QS. Thâha [20]: 67:

فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيْفَةً مُوْسَى

“Maka Musa merasa takut dalam hatinya.”[15]

Dhamîr ha’ pada lafazh nafs kembali kepada lafazh Mûsa yang berada sesudahnya. Akan tetapi, sebenarnya kedudukan Mûsa adalah fâ’il, sedang lafazh nafsihi berada di belakang karena sebagai maf’ul bih.

Ada pula yang terletak belakangan, baik dalam pengucapan maupun kedudukannya, seperti terdapat dalam firman Allah QS. Al-Anbiyâ [21]: 97:

وَاقْتَرَبَ الْوَعْدُ الْحَقُّ فَإِذَا هِيَ شَاخِصَةٌ أَبْصَارُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يَاوَيْلَنَا قَدْ كُنَّا فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا بَلْ كُنَا ظَالِمِيْنَ

“Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar hari berbangkit, maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. Mereka berkata, “Aduhai, celaka kami, sesungguhnya kami dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang zalim.”[16]

Ada pula lafazh yang datang sesudah dhamîr menunjukkan marji’ dhamîr itu. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Wâqi’ah [56]: 83:

فَلَوْلاَ إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُوْمَ

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan.”[17]

Dhamîr rafa’ yang tersimpan disini ditunjukkan oleh lafazh al-hulqûm, yang jika dinyatakan secara lengkap, maka akan berbunyi:فَلَوْلاَ إِذَا بَلَغَتِ الرُّوْحُ الْحُلْقُوْمَ

Marji’ adakalanya dapat dipahami dari konteksnya (siyâq al-kalam), seperti dalam firman Allah QS. Ar-Rahmân [55]: 26 :

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ – وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”[18]

Dhamîr ha yang terdapat pada lafazh ‘alaihâ dalam ayat di atas kembali kepada lafazh al-ardh (bumi). Dengan demikian, semua yang ada di bumi akan binasa.

Contoh senada juga ditunjukkkan oleh firman Allah dalam QS. Al-Qadr [97]:1:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan.”[19]

Dhamîr hu pada lafazh anzalnâhu dalam ayat di atas kembali pada lafazh Alquran.

Demikian pula firman Allah yang terdapat dalam QS. Hûd [11]: 13:

أَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوْا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهِ وَادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ

“Bahkan mereka mengatakan, “Muhammad telah membuat-buat Alquran itu.” Katakanlah, “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.” [20]

Dhamîr wâw pada lafazh yaqûlûnâ kembali kepada orang-orang musyrik, dan dhamîr fâ’il lafazh iftarâ kembali kepada Nabi Muhammad; sedangkan dhamîr hu yang terdapat pada lafazh iftarâhu berkedudukan sebagai maf’ul bih yang kembali kepada al-Qur’ân.

Dhamîr adakalanya kembali kepada lafazh, bukan kepada makna, seperti dalam firman Allah QS. Fâthir [35]: 11:

وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلاَ يَنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلاَّ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ

“Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurang umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam kitab (Lauh al-Mahfûzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.”[21]

Dhamîr yang terdapat pada lafazh ‘umrihî kembali pada lafazh mu’ammar (orang yang berumur panjang), namun yang dimaksud adalah mu’ammar yang lain. Hal ini sebagaimana dikatakan Al-Farrâ’ bahwa yang dimaksud adalah mu’ammar yang lain, bukan mu’ammar yang pertama, ia dikinayahkan dengan dhamîr seakan-akan ia adalah mu’ammar yang pertama, sebab jika lafazh yang kedua ditampakkan maka akan seperti yang pertama. Sehingga kalimat tersebut akan berbunyi: (ولا ينقص من عمر معمر). Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa dhamîr yang terdapat pada lafazh min ‘umrihi kembali kepada lafazh mu’ammar yang lain, bukan mu’ammar yang pertama. Hal ini identik dengan suatu perakataan: ‘indî dirhamun wa nishfuhu (aku mempunyai satu dirham dan setetngahnya), maksudnya adalah setengah dirham yang lain.

Dhamîr adakalanya kembali kembali kepada makna saja, seperti firman Allah dalam QS. An-Nisâ [4]: 179:

يَسْتَفْتُوْنَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيْكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalâlah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalâlah”: yaitu jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.”[22]

Dhamîr yang terdapat pada lafazh kânatâ (bagi keduanya) pada ayat di atas seharusnya di dahului oleh lafazh tatsniyyah sebagai marji’ yang berada dalam kalimat sebelumnya, namun pada ayat tersebut ternyata tidak ditemui lafazh yang menunjukkan demikian. Lafazh kânatâ pada ayat terseut kembali kepada lafazh kalâlah. Marji’ lafazh kânatâ tidak didasarkan pada bentuk lafazh, tetapi lebih kepada maknanya, sebab lafazh kalâlah dapat dipakai untuk menunjukkan makna mufrad, tatsniyyah, atau jama’. Dengan demikian, pentatsniyyahan dhamîr yang kembali pada kalâlah didasarkan pada maknanya, bukan pada lafazhnya.

Contoh senada juga ditunjukkan oleh firman Allah dalam QS. An-Nisâ [4]: 4:

وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”[23]

Dhamîr hâ’ yang terdapat pada lafazh minhu kembali kepada lafazh shaduqât, sebab lafazh ini semakna dengan ash-shidâq atau mâ ushdiqa (sesuatu yang dijadikan mahar). Sehingga ayat tersebut seakan-akan berbunyi sebagai berikut: (و آتوا النساء صداقهن أو ما أصدقتموهن) (berikanlah mahar kepada para wanita atau apa yang kamu jadikan sebagai mahar bagi mereka).

Dhamîr adakalanya disebutkan terlebih dahulu dan kemudian diberi predikat (khabar, obyek) dengan lafazh yang menjelaskannya. Seperti firman Allah dalam QS. Al-An’âm [6]: 29:

وَقَالُوْا إِنْ هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوْثِيْنَ

“Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan.”[24]

Terkadang dhamîr dibuat dalam bentuk tatsniyyah, padahal ia harus kembali kepada salah satu dari dua hal yang telah disebutkan. Seperti firman Allah dalam QS. Ar-Rahmân [55]: 22:

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ – بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لاَ يَبْغِيَانِ – فَبِأَيِّ ءَالاَء ِرَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ - يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ

“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.”[25]

Dhamîr humâ yang terdapat pada lafazh minhumâ (dari keduanya) pada ayat tersebut kembali kepada lafazh al-bahraini, sedangkan mutiara (al-lu’lu’) dan marjan keluar dari salah satu dari dua laut, yaitu dari laut yang asin bukan dari laut yang tawar. Sehingga, meskipun keluarnya mutiara dan marjan berasal dari dua laut tersebut, namun keduanya dipandang sebagai keluar dari kedua lautan dimaksud. Pendapat ini dinisbahkan kepada Az-Zajjaj.

Dhamîr adakalanya pula kembali kepada sesuatu yang ada hubungan erat dengannya, seperti firman Allah dalam QS. An-Nâzi’ât [79]: 46:

كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوْا إِلاَّ عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا

”Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.”[26]

Dhamîr yang terdapat pada lafazh dhuhâha (waktu dhuhâ) pada ayat di atas maksudnya adalah dhuhâ yaumihâ (waktu dhuhâ hari itu), bukan dhuhâ al-‘asyiyyah (waktu dhuhâ sore itu), sebab waktu sore tidak mempunyai waktu dhuhâ.

Adakalanya pula, yang mula-mula diperhatikan dalam dhamîr adalah segi lafazh, kemudian baru dari segi maknanya, seperrti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 8:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُوْلُ ءَامَنَّا بِاللهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ

“Diantara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.”[27]

Dhamîr yang terdapat pada lafazh yaqûlû adalah dhamîr mustatîr, takdirnya adalah huwa. Ia dimufradkan karena didasarkan pada lafazh man. Sedangkan dhamîr hum yang terdapat pada lafazh wa mâ hum dijamakkan di dasarkan pada maknanya, yaitu beberapa orang manusia.[28]


Kesimpulan

Setelah melihat penjelasan ringkas diatas maka dapatlah diketahui bahwa fungsi dhamir itu pada umumnya adalah sebagai pengganti kata-kata yang terlalu banyak yang terdapat dalam suatu kalimat, dan juga sebagai alat untuk menghindari pemborosan kata-kata dan juga mempersingkat perkataan.

Pada dhamir mutakallim dan dhamir mukhatab, marji’nya telah diketahui maksudnya dengan cukup jelas melalui situasi yang melingkupinya. Sedangkan pada dhamir ghaib marji’nya membutuhkan ketentuan yang tersendiri, seperti dhamir yang marjinya disebutkan sebelum dhamir itu sendiri, dhamir yang marjinya disebutkan setelah dhamirnya dinyatakan, dhamir yang marjinya tidak dinyatakan secara langsung, namun dapat diketahui dari konteks kalimat, dan dhamir yang marjinya kembali kepada makna kalimat bukan kepada lafadz kalimat.


DAFTAR PUSTAKA

Ghalîyaini, Syaikh Mushthafâ al-, Tarjamah Jâmi’ ad-Durûs al-‘Arabiyyah, diterjemahkan oleh Moh. Zuhri, Dipl, TAFL, dkk, Semarang, Asy-Syifa, 1992.

Ichwan, Mohammad Nor, Memahami Bahasa Alquran: Refleksi atas Persoalan Linguistik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Qaththân, Manna’ Khalîl al-, Mabâhîts fi ‘Ulûm al-Qur’ân, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 1992.

Suyûthî, Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân as-, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, T. tp.: Dâr al-Fikr, 1370 H/ 1951 M.

‘Utsaimin, Muhammad ibn Shaleh al-, Dasar-dasar Penafsiran Alquran, diterjemahkan oleh Said Agil Husin Al-Munawwar dan H. Ahmad Rifki Muchtar, Semarang, Dina Utama, 1989.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Alquran, Alquran dan Terjemahnya Al-Jumānatul ‘Alī, Bandung: CV Penerbit J-Art, 2004.

Zarkasyi, Bad ad-Dîn Muhammad ibn ‘Abd Allah az-, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Kairo: Isa al-Bâby al-Halaby, 1957.



[1] Muhammad ibn Shaleh al-‘Utsaimin, Dasar-dasar Penafsiran Alquran, diterjemahkan oleh Said Agil Husin Al-Munawwar dan H. Ahmad Rifki Muchtar (Semarang, Dina Utama, 1989), h. 80.

[2] Syaikh Mushthafâ al-Ghalîyaini, Tarjamah Jâmi’ ad-Durûs al-‘Arabiyyah, diterjemahkan oleh Moh. Zuhri, Dipl, TAFL, dkk (Semarang: Asy-Syifa, 1992), h. 219.

[3] Ibid., h. 219-220.

[4] Bad ad-Dîn Muhammad ibn ‘Abd Allah az-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: ‘Îsâ al-Bâby al-Halaby, 1957), h. 24.

[5] Manna’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhîts fi ‘Ulûm al-Qur’ân, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 1992), h. 280.

[6] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Alquran, Alquran dan Terjemahnya Al-Jumānatul ‘Alī (Bandung: CV Penerbit J-Art, 2004), h. 423.

[7] Lihat Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân as-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân (T. tp.: Dâr al-Fikr, 1370 H/ 1951 M), h. 186.

[8] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Alquran, op. cit., h. 354.

[9] Mohammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Alquran: Refleksi atas Persoalan Linguistik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 39.

[10] Manna’ Khalîl al-Qaththân, loc. cit.

[11] Ibid, h. 281.

[12] Ibid.

[13] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Alquran, op. cit., h. 109.

[14] Manna’ Khalîl al-Qaththân, op. cit., h.282.

[15] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Alquran, op. cit., h. 317.

[16] Ibid., h. 331

[17] Ibid., h 538.

[18] Ibid., h. 533.

[19] Ibid., h. 599.

[20] Ibid., h. 224.

[21] Ibid., h. 437.

[22] Ibid., h. 107.

[23] Ibid., h. 78.

[24] Ibid.,h. 132.

[25] Ibid., h. 533.

[26] Ibid., h. 585.

[27] Ibid., h. 4.

[28] Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, op. cit., h. 282-283.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar