Senin, 05 Juli 2010

ILMU RIJĀL AL-HADĪTS

Pendahuluan

Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan pemeluknya, baik di dunia dan di akhirat kelak. Agama Islam mempunyai dua sendi utama yang esensial, yaitu Alquran dan hadis. Alquran berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya, sebagaimana firman Allah swt: “Sesungguhnya Alquran ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya.” (Q.s., al-Isra’ [17]: 09). Dengan kata lain, Alquran adalah murni kalam Allah yang di dalamnya termuat petunjuk mengenai persoalan-persoalan akidah, syariah dan akhlak.[1]

Hadits adalah segala hal yang bersumber dari Rasulullah saw, yang mencakup perkataan, perbuatan dan penetapan beliau.[2] Hadis berfungsi sebagai penjelas (bayan) serta merincikan segala hal yang belum termaktub dalam Alquran. Atau dengan kata lain, hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran.[3]

Berbicara mengenai hadis, maka dalam hal ini tidak terlepas dari pembicaraan mengenai sanad dan matn hadis itu sendiri.[4]

Berkaitan dengan pembicaraan sanad, maka satu hal yang paling utama adalah pembahasan mengenai seluk beluk serta hal-ihwal para periwayat hadis, yang diistilahkan dengan ilmu rijāl al-hadīts. Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadis. Berikut akan dibahas mengenai pengertian serta segala hal yang berhubungan dengan ilmu rijāl al-hadīts ini.

Pengertian Ilmu Rijāl al-Hadīts

Ilmu rijāl al-hadīts adalah ilmu yang membahas tentang para periwayat hadis, baik dari kalangan sahabat, tabiin, maupun generasi setelahnya[5] yang disebut dengan tābi’ al-tābi’īn[6] dalam kapasitas mereka sebagai periwayat hadis.[7]

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam kajian ilmu hadis. Hal ini dikarenakan objek kajian hadis pada dasarnya terletak pada dua hal yang paling esensial, yakni sanad dan matn.[8] Sanad, juga biasa disebut isnād, adalah penjelasan tentang rangkaian periwayat yang menyampaikan kepada materi hadis.[9] Sedangkan matn hadis adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang berada setelah sanad yang terakhir.[10]

Orang-orang yang disebutkan dalam rentetan sanad ini disebut pula dengan para periwayat hadis. Para periwayat hadis itu sendiri merupakan ikon utama dalam pembahasan ilmu rijāl al-hadīts. Karena itu, tidak mengherankan jika sejak dahulu para ulama telah mencurahkan perhatian yang amat besar pada perkembangan ilmu ini.[11]

Ilmu rijāl al-hadīts ini lahir bersama-sama dengan periwayatan hadis dalam Islam dan mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.[12]

Kategorisasi Ilmu Rijāl al-Hadīts

Ilmu rijāl al-hadīts dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yakni ilmu Tārīkh al-Ruwāh dan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dīl.

a. Ilmu Tārīkh al-Ruwāh

Ilmu Tārīkh al-Ruwāh, yakni suatu ilmu yang memberikan pengenalan kepada kita para periwat hadis dalam kapasitas mereka selaku periwayat hadis. Ilmu ini menjelaskan tentang segala hal yang berhubungan dengan para periwayat, baik itu hari lahir dan wafatnya, guru-gurunya, masa pada saat dia mulai mendengarkan hadis, orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya, negara serta tempat tinggalnya, perlawatannya dalam mencari hadis, waktu kedatangannya di berbagai negeri, dia mendengar hadis dari guru-gurunya, serta segala hal yang berhubungan dengan urusan hadis.[13] Ilmu tārīkh al-ruwāh lebih banyak membicarakan biografi para periwayat hadis serta hubungan periwayat yang satu dengan periwayat yang lain dalam proses periwayatan hadis.[14]

Ilmu ini berkembang bersamaan dengan berkembangnya Ilmu Riwayah.[15]

b. Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dīl

Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dīl merupakan suatu ilmu yang membahas segala hal yang berhubungan dengan para periwayat hadis dari segi dapat diterima, atau sebaliknya ditolak periwayatannya.[16]

Ilmu ini lebih menekankan pada pembahasan kualitas pribadi periwayat hadis, khususnya dari kekuatan hafalannya, kejujurannya, integritas pribadinya terhadap ajaran Islam, serta berbagai keterangan lainnya yang berhubungan dengan penelitian sanad hadis.[17]

Esensi ilmu al-jarh wa al-ta’dīl ini adalah:

(1) Untuk mengetahui syarat-syarat periwayat yang diterima;

(2) Untuk mengetahui bagaimana metode menetapkan keadilan dan kedhabitan para periwayat;

(3) Untuk mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan pembahasan sanad.[18]

Dari kedua pokok ilmu rijāl al-hadīts ini, muncul pula cabang-cabang yang memiliki ciri pembahasan tersendiri. Cabang-cabang itu antara lain:

a. Ilmu Thabaqāt al-Ruwāh, yakni suatu ilmu yang mengelompokkan para periwayat ke dalam suatu angkatan atau generasi tertentu.

b. Ilmu al-Mu’talif wa al-Mukhtalif, yakni suatu ilmu yang membahas tentang perserupaan bentuk tulisan dari nama asli, nama samaran, dan nama keturunan para periwayat, namun bunyi bacaannya berlainan.

c. Ilmu al-Muttafiq wa al-Muftariq, yakni suatu ilmu yang membahas tenatng perserupaan bentuk tulisan dan bunyi bacaannya, namun berlainan personalianya.

d. Ilmu al-Mubhamāt, yakni suatu ilmu yang membahas nama-nama periwayat yang tidak disebut dengan jelas.[19]

Sasaran Pokok Ilmu Rijāl al-Hadīts

Dari definisi yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat diketahui bahwa ilmu rijāl al-hadīts berhubungan dengan segala hal yang berkaitan dengan para periwayat hadis dalam kapasitas mereka selaku periwayat hadis. Karena itu, ilmu ini sangat diperlukan dalam penelitian sanad hadis. Sasaran pokok dari ilmu ini antara lain adalah sebagai berikut.

a. Dengan ilmu ini, penelitian sanad hadis dapat dilakukan, karena dalam ilmu ini tercakup data yang lengkap mengenai para periwayat hadis, baik biografi mereka, maupun kualitas pribadi mereka. Tanpa menggunakan ilmu ini, tidak dapat dibayangkan kesulitan yang akan dihadapi oleh seseorang yang ingin meneliti sanad hadis pada masa sekarang, mengingat bahwa para periwayat itu sendiri sudah ribuan tahun meninggal dunia.[20]

b. Sebagaimana telah diketahui bahwa bahasan hadis mencakup sanad dan matn. Ilmu ini berguna untuk mendalami pengetahuan tentang sanad, karena dengan menguasai sanad hadis, berarti mengetahui separuh ilmu hadis.[21] Seorang pengkaji hadis belumlah dianggap lemgkap ilmunya tentang hadis jika hanya mempelajari matnnya, sebelum mempelajari juga sanadnya.[22]

c. Pada tahap paling awal penyebaran hadis ke dunia Islam pasca kewafatan Rasulullah saw.,, masyarakat menghadapi berbagai peristiwa yang sangat genting. Salah satunya adalah fitnah pembunuhan Usman dan perang antara ‘Aliy dan Mu’awiyah yang mengakibatkan perselisihan di kalangan umat Islam. Dari sini, terlihat bahwa pemalsuan pertama hadis dimulai dalam arena politik.[23] Atau dengan kata lain, dalam sejarah Islam, pada akhir masa pemerintahan ‘Aliy ibn Abi Thālib, pemalsuan hadis sudah mulai ada,[24] dan pemalsuan itu terus berkembang pesat hingga akhir abad pertama Hijriyah. Untuk menfilter hadis-hadis palsu itu, maka ilmu rijāl al-hadīts dapat dipergunakan.

Selintas tentang Sejarah Penulisan Kitab Rijāl al-Hadīts

Para ulama hadis telah berdiri tegak dengan teguh melalui berbagai karyanya tentang biografi para periwayat serta sejarah kehidupan mereka. Tujuan utama dari berbagai karya tersebut adalah sebagai upaya berkhidmat pada sunnah Nabi Muhammad saw. serta membentengi setiap usaha para pengingkar hadis dalam melakukan kebohongan terhadapnya.[25]

Karya-karya para ulama hadis itu terbatas pada lingkup setiap nama yang terlibat dalam periwayatan hadis, penukilan terhadap pengakuannya, pembicaraan tentang kehidupan para periwayat tersebut secara rinci terutama yang berkaitan dengan ketsiqahan dan kecacatannya. Semua usaha tersebut merupakan suatu informasi terhadap keadaan para periwayat hadis, serta mencakup pula perbedaan perawi yang kuat dari yang lemah, serta yang jujur dari yang dusta diantara mereka.

Dengan sebab inilah, musuh-musuh Islam tidak mampu mengambil alih posisi agama Islam dan pemikiran para pemeluknya secara terang-terangan. Mereka mengambil jalan secara sembunyi-sembunyi dan keji melalui kerja sama di antara mereka dalam upaya untuk menghancurkan Islam.

Karena itulah, para ulama hadis mengingatkan kita terhadap tipu daya musuh-musuh Islam yang keji tersebut. Mereka menyusun berbagai karya yang menyangkut para periwayat. Dari sini, mereka telah berhasil mennyingkapkan keberadaan orang-orang yang berbuat kebohongan tersebut, dan mereka pula yang menelanjangi keburukan perbuatannya di hadapan orang banyak. Akhirnya, umat Islam mengetahui dan menjauhi riwayat para pembohong itu, bahkan sebagian dari para pembesarnnya menjalani hukum bunuh di tangan sebagian para khalifah kaum Muslimin.[26]

Para ulama hadis telah benar-benar mendisiplinkan dirinya dalam menuliskan buah pikirannya tentang proses periwayatan itu, memilah dan membaginya, sehingga mereka dapat memberikan informasi tentang para periwayat dalam berbagai karya yang bersifat umum dan juga khusus.[27]

Ulama yang pertama kali menyusun karya dalam bentuk kitab riwayat ringkas para sahabat adalah Imam al-Bukhāriy (w. 256 H). Kemudian, usaha itu dilanjutkan oleh Muhammad Ibn Sa’d (w. 230 H) dalam karyanya Thabaqāt al-Kubrā, atau yang lebih dikenal dengan Thabaqāt Ibn Sa’d.[28] Setelah itu, muncul lagi beberapa ahli, di antaranya adalah Ibn ‘Abd al-Barr (w. 463 H) dalam kitabnya Al-Isti’āb.

Pada permulaan abad ke-7 H, ‘Izz al-Dīn Ibn al-Atsīr mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelumnya dalam sebuah kitab besar yang bernama Usd al-Ghābah. Ibn al-Atsīr ini adalah saudara dari Majd al-Dīn Ibn al-Atsīr pengarang kitab Al-Nihāyah fi Gharīb al-Hadīts. Kemudian kitab Usd al-Ghābah direvisi oleh al-Dzahabiy dalam kitab Al-Tajrīd.[29]

Pada abad ke-9 H, Ibn Hajr al-‘Atsqalāniy menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Ishābah fi Tamyīz al-Shahābah yang isinya merupakan gabungan dari Al-Isti’āb dan Usd al-Ghābah serta berbagai kitab lain. Kemudian kitab ini diringkas lagi oleh Imam al-Suyūthi dalam ‘Ain al-Ishābah.[30]

Imam al-Bukhāriy dan Imam Muslim juga menulis kitab yang menjelaskan tentang nama-nama sahabat yang hanya meriwayatkan satu hadis saja yang diberi nama Wuhdān.

Dalam hal ini, Yahya ibn ‘Abd al-Wahhāb ibn Mandah al-Asbahaniy (w. 511 H) juga ambil bagian dalam penulisan sebuah kitab yang menjelaskan nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun.[31]

Metode Penyusunan Kitab Rijāl al-Hadīts

Para ulama hadis menyusun kitab rijāl al-hadīts dalam bentuk dan metode yang beragam. Untuk memberikan gambaran singkat mengenai metode penyusunan ini, uraian akan dibagi menjadi dua bagian sesuai dengan kategorisasi ilmu rijāl al-hadīts yang telah dikemukakan sebelumnya.

a. Kitab Tārīkh al-Ruwāh

Untuk menyusun kitab ini, ulama menggunakan metode berikut:

(1) Mengelompokkan periwayat berdasarkan angkatan atau generasi tertentu yang disebut dengan thabaqāt. Buku dalam bentuk ini, antara lain: Al-Tabaqāt al-Kubrā oleh Muhammad ibn Sa’d (w. 230 H) dan Tazkīrah al-Huffāz oleh Al-Dzahabiy (w. 748 H).[32]

(2) Menyusun periwayat berdasarkan tahun. Dalam hal ini, penulisnya menyebutkan tahun wafat periwayat, lalu menuliskan biografinya dan riwayat yang disampaikannya. Buku yang termasuk kategori ini adalah karya al-Dzahabiy yang berjudul Tarīkh al-Islām.[33]

(3) Menyusun periwayat secara alfabetis. Metode ini sangat membantu para penulis yang membahas para periwayat hadis. Yang menggunakan metode ini antara lain Ibn Hajr al-‘Atsqalāniy (w. 852 H) dalam bukunya Tahdzīb al-Tahdzīb.[34]

(4) Menyusun periwayat berdasarkan negeri. Penulisnya mengemukakan para ulama dari satu negeri, menyebutkan ahli ilmu yang masuk ke negeri itu dan terkadang pula menyebutkan orang yang diriwayatkan oleh ulama itu. Penulis-penulis jenis ini memulai dengan mengemukakan keutamaan suatu negeri, kemudian menyebutkan para sahabat yang ada disana, menjadikannya tempat tinggal, atau sekedar lewat saja. Kemudian, disebutkan semua periwayat secara alfabetis. Yang termasuk jenis ini antara lain adalah Tārīkh Baghdād oleh Abu Bakr Ahmad ibn ‘Aliy al-Baghdādiy yang lebih dikenal dengan Al-Khathīb al-Baghdādiy (w. 463 H),[35] Tārīkh Jurjān oleh Abi Qāsim Hamzah ibn Yūsuf al-Sahmi (w. 427 H),[36] serta Tārīkh al-Wasīth oleh Abu Hasan Aslam ibn Sahl, yang dikenal dengan Bahsyl al-Wasīthi.[37]

(5) Ada pula bentuk lain yang penyusunannya berdasarkan asmā (nama asli), kunā (nama panggilan dengan menyebut nama ayahnya, anaknya, atau ibunya), alqāb (gelar), ansāb (keturunan), ikhwah dan akhawāt (saudara laki-laki atau saudara perempuan), al-mu’talif wa al-mukhtalif (nama panggilan yang tulisannya sama, tetapi bacaannya berbeda), al-mu’ammarīn (mereka yang berumur panjang) dari kalangan sahabat, tabiin, atau tābi’ al-tābi’īn, dan al-musytabah (nama dan lafal periwayat yang sama, tetapi nama orang tuanya berbeda, atau sebaliknya). Buku yang dapat dikategorikan dalam jenis ini adalah Al-Asmā wa al-Kunā, karya Abu Bisyr Muhammad ibn Ahmad al-Dawlābiy (w. 320 H).[38]

b. Kitab al-Jarh wa al-Ta’dīl

Kitab al-Jarh wa al-Ta’dīl juga memiliki berbagai varian, antara lain sebagai berikut.

(1) Terdapat kitab yang khusus membahas para periwayat yang dinilai berkualitas tsiqah oleh penulisnya, antara lain Kitāb al-Tsiqāt karya Abu al-Hasan Ahmad ibn ‘Abdullāh al-‘Ijliy (w. 261 H).[39]

(2) Ada pula kitab yang khusus[40] membahas para periwayat yang dinilai dha’īf, seperti Al-Dhu’afā al-Kabīr dan Al-Dhu’afā al-Shaghīr, karya Imām Muhammad ibn Ismā’īl al-Bukhāriy (w. 256 H), serta Al-Dhu’afā wa al-Matrūkīn karya al-Nasāiy.[41]

(3) Terdapat pula buku yang membahas periwayat hadis yang kualitas mereka dipersoalkan, seperti Al-Kāmil fi Dhu’afā al-Rijāl, karya Abu Ahmad ’Abdullāh ibn ‘Adiy al-Jurjāniy (w. 356 H).[42]

Beberapa Kitab Rijāl al-Hadīts yang Diperlukan dalam Penelitian Hadis

Telah diungkapkan sebelumnya bahwa para ulama hadis memiliki metode yang berbeda-beda dalam penyusunan kitab rijāl al-hadīts. Sebagai konsekuensi logis dari hal ini, tentu saja setiap kitab memiliki karakteristik serta keistimewaan tersendiri.

Dalam poin ini akan diungkapkan sepintas beberapa kitab rijāl al-hadīts yang sangat diperlukan dalam penelitian sanad hadis.

a. Kitab Tahdzīb al-Tahdzīb

Kitab ini disusun oleh al-Imām al-Hāfidz Syaykh al-Islām Syihāb al-Dīn Abu al-Fadl Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajr al-‘Atsqalāniy. Latar belakang penulisan kitab ini adalah karena adanya kitab al-Kāmil fi Asmā al-Rijāl karya ‘Abd al-Ganiy ibbn ‘Abd al-Wāhid ibn Surūr al-Muqaddasiy.[43] Kitab ini dikarang sebagai ringkasan dan revisi terhadap kitab Tahdzīb al-Kamāl karya Al-Mizzi.[44]

Prinsip yang dipegang oleh Ibn Hajr al-‘Atsqalāni dalam meringkas ini, adalah apabila tidak berkaitan dengan tawtsīq dan tajrīh, artinya selama berkaitan dengan kedua hal tersebut, dia tidak akan meringkaskannya.[45]

Terkadang ia mengubah redaksi, selama tidak mengubah maksud asalnya dan dapat pula menambah kata-kata, agar kalimat semula menjadi jelas maknanya. Tidak ada biografi periwayat yang disebutkan dalam buku aslinya yang ditinggalkan oleh Ibn Hajr al-‘Atsqalāni, bahkan dia menambahkannya berdasarkan ketentuan yang dijadikan syarat penulis buku aslinya.[46]

Dalam menyuusun kitab yang ringkas ini, Ibn Hajr al-‘Atsqalāni memanfaatkan kitab yang disusun oleh al-‘Allāmah ‘Alau al-Dīn yang membahas Tahdzīb al-Kamāl sebagai langkah awal, namun pada tahap selanjutnya ia kembali merujuk kitab aslinya. Hal-hal yang sesuai dengan kitab aslinya dia tetapkan, sementara yang berbeda dengan aslinya ia abaikan. Sebenarnya kitab ini merupakan himpunan dua kitab tersebut yang dilengkapi dengan tambahan yang memang tidak termuat dalam keduanya.[47]

Kitab ini terdiri atas 14 jilid, 12 jilid berisi biografi periwayat dan dua jilid terakhir berisi index, disusun secara alfabetis. Kandungan kitab ini mencakup 12. 455 biografi periwayat hadis.[48]

b. Kitab Tadzkīrāt al-Huffāzh

Kitab ini ditulis oleh Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Utsmān al-Dzahabiy (w. 784 H). Pengarang mengkhususkan kitab ini bagi thabaqah para huffāzh hadis saja. Karena itu, kitab ini dijadikan kita sumber dalam setiap penetapan ketsiqahan dan kedha’īfan bagi setiap biografi para huffāzh.[49]

Dalam kitab ini disebutkan orang-orang termasyhur sebagai periwayat hadis dalam setiap thabaqah dari berbagai masa, sejak masa para sahabat sampai masa al-Dzahabiy, yakni pada abad ke-8 H. Untuk melengkapi daya manfaat yang lebih banyak dari kitab ini, pengarangnya memberikan catatan tambahan terhadap tiga orang ulama besar, yakni A-Husainiy (w. 765 H), Ibn Fahd al-Makkiy (871 H), dan Jalāl a-Dīn al-Suyūthiy (w. 911 H). Dengan demikian, maka terkumpullah dalam kitab ini sejumlah biografi orang-orang termasyhur sebagai periwayat hadis dari abad pertama sampai awal abad ke-10.[50]

c. Kitab Al-Dhu’afā wa al-Matrūkūn

Kitab ini dituls oleh Al-Nasāiy, di dalamnya menghimpun sebanyak 703 biografi orang lemah. Pada bagian akhir dari nomor urut 265-703 merupakan biografi nama orang-orang lemah yang diurut, juga berdasarkan kamus tetapi dalam lingkup al-Kunā.

Kitab ini di tahqīq oleh Pusat Pelayanan dan Penelitian Kebudayaan, di bawah tanggung jawab Bawron al-Danawi dan Kamal Yusuf al-Hut, dan diterbitkan oleh Yayasan Al-Kutub al-Tasqafiyyah, Dār al-Fikr, Beirut, dan dicetak ulang sebanyak dua kali, antara tahun 1985 dan 1987.

Dalam sistematika penulisannya, kitab ini disusun biografinya berdasarkan urutan huruf kamus. Urutan ini kemudian dikaitkan pada huruf pertamanya dari segala segi.

Menurut para penilainya, dengan adanya kitab ini, maka Al-Nasāiy termasuk al-Mutasyaddidīn (kelompok keras) dalam mencacatkan para perawi.[51]

e. Kitab Mizān al-I’tidāl fi Naqd al-Rijāl

Kitab ini dikarang oleh Al-Dzahabiy. Kitab ini merupakan kitab kumpulan biografi orang-orang yang dicacatkan dalam meriwayatkan hadis. Dalam kitab ini berisi 11053 biografi sebagaimana tertulis dalam cetakannya, yang setiap biografinya telah diberi nomor urut.[52]

Kitab ini diawali pembahasannya dengan muqaddimah, dan dijelaskan pula metodologinya. Ia menyebutkan penyusunan kitab ini dilakukan setelah kitab Al-Mughniy fi al-Dhu’afā. Pembahasan di dalamnya disajikan secara panjang lebar. Ia menambahkan beberapa nama dari yang ada dalam kitab Al-Mughni tersebut. Ia menyebutkan pula jenis-jenis periwayat yang ada dalam setiap kandungan kitab ini hingga akhir.

Kitab ini dalam penyususnan biografinya berdasarkan urutan huruf kamus dengan mengaitkan nama pribadi periwayat dan nama ayahnya. Dirumuskan pula nama seorang periwayat yang telah dikeluarkan dari kutub al-sittah ke dalam kitabnya dengan disertai rumus yang telah dikenal.

Kitab ini sangat bermanfaat dan merupakan kitab yang paling baik. Kitab ini tebalnya empat jilid, dan telah dicetak ulang beberapa kali.[53]

Penutup

Ilmu Rijāl al-Hadīts merupakan cabang dari Ilmu Hadis yang menempati proporsi tertentu dalam periwayatan hadis. Hal ini dikarenakan dalam ilmu ini, yang menjadi pembahasan adalah sanad hadis, sementara sanad itu sendiri merupakan salah satu bagian utama dari sebuah hadis. Karena itu, ilmu ini sangat berguna dan amat penting untuk diterapkan.

Mengingat dalam kesejarahan Islam, pasca kewafatan Rasulullah saw. pernyataan-pernyataan yang diklaim merupakan hadis beliau – padahal bukan –semakin berkembang di kalangan umat Islam, tak ayal ini eksistensi dari ilmu ini semakin diperlukan. Hal ini untuk mengetahui serta membedakan para periwayat yang jujur dari yang berbohong.

Di era globalisasi yang sarat dengan perkembangan segala jenis ilmu pengetahuan sekarang ini, semakin tampaklah pentingnya ilmu ini. Tidak bisa dibayangkan kesulitan yang akan dihadapi seseorang yang ingin meneliti hadis tanpa adanya ilmu ini, karena sebagaimana telah diketahui bahwa para periwayat hadis telah meninggal ribuan tahun lalu. Karenanya, eksistensi ilmu ini bagaimanapun harus tetap dipertahankan hingga kapan pun, sebagai bagian dari khazanah keilmuan hadis pada khususnya, dan Islam pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

A’zami, Muhammad Mushtafa, Studies in Hadith Methodology and Literature, diterjemahkan oleh Meth Kieraha dengan judul Memahami Ilmu Hadis: Telaah Metodologi dan Literatur Hadis, Jakarta: Lentera, 2003.

Dimyati, Ayat, Pengantar Studi Sanad Hadis, Bandung: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati, 1997.

Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

_____, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Karim, Abdullah, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005.

Khathīb, Muhammad ‘Ajjāj al-, Ushūl al-Hadits: ‘Ulūmuhu wa Mushtalahuhu, Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H/ 1989 M.

Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Rahman, Fatchur, Ikhtishar Mushthalahul Hadis, Bandung: Alma’arif, 1987, cet. ke-5.

Shālih, Shubhi al-, ‘Ulūm al-Hadīts wa Mushthalahuhu, Beirūt: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, 1988, cet. ke-17.

Shiddieqy, T. M. Hasbi ash-, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, cet. ke-6.

Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan Alquran (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Jakarta: Mizan, 2001, cet. XXII.

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, cet. ke-3.



[1] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Alquran (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat) (Jakarta: Mizan, 2001), cet. XXII, h. 33.

[2] Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, Ushūl al-Hadits: ‘Ulūmuhu wa Mushtalahuhu (Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H/ 1989 M), h. 19.

[3] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 3.

[4] Abdullah Karim, Membahas Ilmu-ilmu Hadis (Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005), h. 163.

[5] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), cet. ke-6, h. 153.

[6] Lihat Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadis (Bandung: Alma’arif, 1987), cet. ke-5, h. 245.

[7] Shubhi al-Shālih, ‘Ulūm al-Hadīts wa Mushthalahuhu (Beirūt: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, 1988), cet. ke-17, h. 110.

[8] Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 49.

[9] Lihat Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, op. cit., h. 12-13. Lihat pula M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 25.

[10] Fatchur Rahman, op. cit., h. 23.

[11] Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, op. cit., h. 253.

[12] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), cet. ke-3, h. 30.

[13] Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, op. cit., h. 253. Lihat juga Fatchur Rahman, op. cit., h. 258.

[14] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 97.

[15] Fatchur Rahman, op. cit., h. 259.

[16] Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, op. cit., h. 261.

[17] Abdullah Karim, op. cit., h. 165. Penjelasan selanjutnya tentang Ilmu al-jarh wa al-ta’dīl ini dapat ditemukan dalam berbagai kitab yang berbicara tentang ilmu hadis.

[18] Ayat Dimyati, Pengantar Studi Sanad Hadis (Bandung: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati, 1997), h. 25.

[19] Fatchur Rahman, op. cit., h. 257.

[20] Abdullah Karim, op. cit., h. 166.

[21] T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, loc. cit.

[22] Fatchur Rahman, op. cit., h. 245.

[23] Muhammad Mushtafa A’zami, Studies in Hadith Methodology and Literature, diterjemahkan oleh Meth Kieraha dengan judul Memahami Ilmu Hadis: Telaah Metodologi dan Literatur Hadis (Jakarta: Lentera, 2003), h. 88.

[24] Subhi al-Shālih, op. cit., h. 266.

[25] Ayat Dimyati, op. cit., h. 39.

[26] Ibid., h. 40.

[27] Ibid., h. 41.

[28] Subhi al-Shālih, op. cit., h. 111. Lihat pula T. M. Hasbi ash-Shddieqy, op. cit., h. 154.

[29] Ibid.

[30] Ibid.

[31] Ibid., h. 155.

[32] Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, op. cit., h. 255.

[33] Ibid.

[34] Ibid.

[35] Ibid., h. 256.

[36] Ayat Dimyati, op. cit., h. 90.

[37] Ibid., h. 89.

[38] Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, op. cit., h. 257.

[39] M. Syhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 94.

[40] Ibid.

[41] Ayat Dimyati, op. cit., h. 83.

[42] Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, op. cit., h. 278-279.

[43] Abdullah Karim, op. cit., h. 171-172.

[44] Ayat Dimyati, op. cit., h. 55.

[45] Abdullah Karim, op. cit., h. 173.

[46] Ibid., h. 174.

[47] Ibid., h. 178.

[48] Ibid., h. 178-179.

[49] Ayat Dimyati, op. cit., h. 50.

[50] Ibid., h. 51.

[51] Ibid., h. 83.

[52] Ibid., h. 84.

[53] Ibid., h. 85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar