Rabu, 21 Juli 2010

IMAM MUSLIM

A. Biografi Imam Muslim

Nama beliau Abu Husain Muslim ibn al-Hajjāj al-Qusyairi al-Naisabūri. Beliau lahir di Naisabur pada tahun 204 H.[1] Namun ada pula yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 206 H. [2]

Pada waktu kecil ia mulai menuntut ilmu hadis, dan kemudian pergi keseluruh ulama hadis di Mesir, kemudian pergi ke Irak, Hijaz, Syam dan Mesir. Dia juga mengambil dari gurunya yang sebagian dari guru-guru Imam Bukhari.[3]

Imam Muslim mempunyai kitab hasil tulisannya yang jumlahnya cukup banyak, di antaranya: (1) Shahīh Muslim; (2) Al-Musnad al-Kabīr ‘ala al-Rijāl; (3) Kitāb al-Asmā wa al-Kunnā; (4) Kitāb al-‘Ilal; (5) Kitāb al-Aqran; (6) Kitāb Sualatihi Ahmad bin Hanbal; (7) Kitāb al-Intifā` bi Uhūb al-Siba`; (8) Kitāb al-Muhadhramin; (9) Kitāb Man Laisa Lahū illa Rāwin Wāhidin; (10) Kitāb Aulād al-Shahābah; (11) Kitāb Auham al-Muhadditsīn; (12) Al-Jāmi` al-Kabīr; (13) Kitāb al-Tamyīz; dan (14) Kitāb al-Thabaqāt al-Tābi`īn.[4]

Imam Muslim wafat pada hari ahad sore dan di makamkan di kampung Nasr Abad daerah Naisabur pada hari senin, 25 Rajab 261 H/875 M, dalam usia 55 tahun.[5]

B. Kitab Shahīh Muslim

1. Metode Imam Muslim dalam Menyusun Shahihnya.

Dalam menyusun kitab sahihnya, Imam Muslim mencantumkan 300.000 hadis. Ia berkata: “Aku tidak meletakkan hadis dalam kitabku ini kecuali dengan argumen tertentu, dan aku juga tidak menggugurkannya kecuali dengan argumen tertentu pula.” Selanjutnya, ia berkata: “Aku tidak mencantumkan keseluruhan hadis sahih dalam kitabku ini. Aku hanya mencantumkan hadis yang disepakati oleh para ulama akan kesahihannya.”[6]

Dalam metode penyusunan kitab Shahīh-nya ini, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu Jarh dan Ta’dīl.[7] Ia menggunakan Shīgah al-Tahammul (bentuk kalimat penerimaan) Haddatsani, Haddatsanā, Akhbaranī, Akhbaranā, dan Qāla.[8]

Seperti halnya Imam Bukhari, Imam Muslim juga tidak menetapkan syarat tertentu yang dipakai dalam sahihnya. Tetapi para ulama telah menggali syaratnya itu melalui pengkajian terhadap kitabnya.[9] Mereka menyimpulkan bahwa syarat yang dipakai Imam Muslim dalam Shahīh Muslim ialah:

1). Ia tidak meriwayatkan hadis kecuali dari pada perawi yang ‘adil, kuat hafalannya, jujur, amanah, tidak pelupa. Dia juga meriwayatkan dari perawi yang memiliki sifat-sifat lebih rendah dari tersebut di atas.

2). Dia sama sekali tidak meriwayatkan kecuali hadis musnad, muttashil dan marfu’ (disandarkan) kepada Nabi Muhammad.[10]

3). Ada informasi positif bahwa si perawi hidup satu masa dengan si Syaikh. walaupun antara keduanya belum pernah bertemu.[11]

Dari poin diatas, dapat diketahui bahwa Imam Muslim tidak selamanya harus berpegang teguh pada ketentuan sebagaimana yang dipakai oleh Imam Bukhari, yaitu adanya tingkatan tertentu dalam periwayatan dan para perawi. Selain itu, dia tidak memberi persyaratan keharusan bertatap muka antara perawi dan Syaikh-nya. Karena itu, dia meriwayatkan hadis dari perawi yang hadisnya tidak dicantumkan oleh Imam Bukhari dalam Shahīhnya.[12]

Imam Muslim mengkategorikan hadis ke dalam tiga bagian:

1. Hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yang memiliki kredibilitas yang tinggi, intelektualitas yang memadai, serta ingatan yang kuat;

2. Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak diketahui keadaannya (mastūr) dan memiliki ingatan yang tidak terlalu kuat;

3. Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah daya ingatnya serta seringkali berbuat kesalahan.[13]

Imam Muslim tidak memberi perhatian apapun terhadap penarikan hukum. Ia bahkan tidak menyebutkan bab-bab yang ditambahkan kemudian. Perhatian penuh diberikannya pada mutābi’āt dan syawāhid.[14]

2. Ciri Khas Shahīh Muslim

Yang menjadi ciri khas Shahīh Muslim ialah redaksi (matan) hadis yang semakna beserta dengan sanadnya diletakkan pada satu tempat, dan tidak dipisah dalam beberapa bab yang berbeda, sehingga susunan kitab ini lebih sistematis. Dalam kitab ini juga tidak ada pengulangan hadis kecuali karena sangat perlu diulang untuk kepentingan sanad atau matan hadis.

Cara ini dilakukan oleh Muslim, karena hadis ini bukan untuk menerangkan segi fiqih dan penggalian hukum dan adab dari hadis tersebut. Tidak seperti Imam Bukhari yang memang mempunyai maksud untuk menggali kandungan hadis itu. Oleh karena itu dia menempuh caranya sendiri untuk menyusun kitab Shahihnya.

Ciri khas Shahīh Muslim lainnya adalah ketelitian dalam kata-kata. Apabila seorang perawi dengan perawi lainnya terdapat perbedaan lafaz, padahal maknanya sama, maka Imam Muslim mencantumkan dan menerangkan matan-matan hadis yang lafaznya berbeda itu.[15] Begitu pula, jika seorang perawi mengatakan haddatsanā, dan perawi lain mengatakan akhbaranā, maka Imam Muslim akan menjelaskan perbedaan lafaz ini. Apabila sebuah hadis diriwayatkan oleh orang banyak dan terdapat beberapa lafaz yang berbeda, Muslim menerangkan bahwa lafaz yang disebutkan itu berasal dari si fulan. Oleh karena itu, dalam hadis semacam ini, Muslim mengatakan: واللفظ لفلان . Itulah ketelitian dan kejujuran dalam periwayatan yang menjadi ciri khas Imam Muslim.

Dia berusaha keras agar di dalam kitabnya hanya memuat hadis-hadis musnad dan marfū, yakni hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw Karena itu dia tidak mencantumkan perkataan sahabat dan tabi’in.

Begitu pula, Muslim tidak meriwayatkan hadis mu’allaq di dalam kitabnya. Kalaupun ada, itu pun hanya terdapat 12 hadis mu’allaq yang hanya berfungsi sebagai hadis penguat dan bukan hadis utama. Selain yang telah disebutkan, masih banyak ciri khas lain yang bisa diketahui dengan mengkaji kitab Shahīhnya.[16]

3. Teknik Penulisan Shahīh Muslim.

Imam Muslim memulai kitabnya dengan Muqaddimah yang memberi gambaran tentang keadaan kitab Shahīh serta ilmu hadis yang digunakannya dalam menyaring hadis. Kemudian ia mencantumkan berbagai tema yang dibawahnya terdapat bagian-bagian yang berkaitan dengan topik yang dibicarakan oleh hadis yang dikemukakan.[17]

Imam Muslim tidak membuat judul setiap kitāb secara praktis. Dia hanya mengelompokkan hadis-hadis yang satu tema pada satu tempat. Dengan demikian, hadis-hadis dalam Shahīhnya ini seakan-akan telah tersusun secara sistematis menjadi beberapa kitāb.[18]

Muslim melakukan demikian mungkin untuk mengasah otak para pembaca kitabnya, agar mempergunakan akalnya untuk dapat mengkaji, menggali, menemukan maksud dan tujuan hadis.[19]

Adapun judul kitāb dan bāb yang terdapat pada Shahīh Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya bukan ditulis oleh Muslim, melainkan ditulis oleh pensyarh Shahīh itu yang hidup sesudahnya.[20]

4. Jumlah Hadis Shahīh Muslim.

Ahmad ibn Salamah, penulis naskah Shahīh Muslim, mengatakan bahwa Shahīh Muslim itu berisi 12.000 hadis. Namun Ibnu Salah menyebutkan dari Abi Quraisy, bahwa jumlah hadis dalam Shahīh Muslim itu sebanyak 4.000 buah.[21]

Menurut Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, hadis yang tercantum dalam Shahīh Muslim adalah 3.030 hadis tanpa pengulangan, dan bila dengan pengulangan, maka jumlahnya mencapai 10.000 hadis.[22] Sedangkan menurut Al-Khulli – seorang ulama dan ahli hadis di Mesir – jumlah hadis yang ada dalam kitab ini mencapai 4.000 hadis tanpa pengulangan, dan bila dengan pengulangan, maka mencapai 7.275 hadis. Jumlah ini menurut pendapatnya juga meliputi semua hadis yang sahih.[23]

Hadis-hadis yang dimuat dalam Shahīh Muslim ini adalah hadis yang telah disepakati dan disaring dari 300.000 hadis yang Imam Muslim ketahui. Untuk memilih hadis dalam jumlah yang sangat banyak ini, Imam Muslim telah menghabiskan waktu selama 15 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Ahdal, Hasan Muhammad Maqbūli al-, Mushthalah al-Hadīts wa Rijāluhū, Sana’ā: Maktabah al-Jail al-Jadīd, 1414 H/ 1993 M.

A’zami, Muhammad Mushthafā al-, Studies in Hadith Methodology and Literature, diterjemahkan oleh Meth Kieraha dengan judul Memahami Ilmu Hadis: Telaah Metodologi dan Literatur Hadis, Jakarta: Lentera, 2003.

Bāqī, Muhammad Fuād ‘Abd al-, Shahīh Muslim bi Syarh al-Nawāwi, Indonesia: Maktabah Dahlan, t. th.

Hajjāj, Muslim ibn al-, Shahīh Muslim, Beirut: Dār al-Fikr, 1412 H/ 1992 M.

Khathīb, Muhammad ‘Ajjāj al-, Ushūl al-Hadīts: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H/ 1989 M.

Syuhbah, Muhammad Muhammad Abu, Fi Rihābi al-Sunnah al-Kutub al-Shihāhi al-Sittah, diterjemahkan oleh Ahmad Usman dengan judul Kutubus Sittah, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.

Tim Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.



[1] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihābi al-Sunnah al-Kutub al-Shihāhi al-Sittah, diterjemahkan oleh Ahmad Usman dengan judul Kutubus Sittah (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h. 59.

[2] Muslim ibn al-Hajjāj, Shahīh Muslim (Beirut: Dār al-Fikr, 1412 H/ 199 2 M), juz I, h. 1.

[3] Ibid.

[4] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, op. cit., h. 61-62.

[5] Ibid., h. 60.

[6] Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, Ushūl al-Hadīts: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H/ 1989 M), h. 315.

[7] Jarh secara etomologis berarti melukai, sedangkan secara terminologis berarti tindakan seseorang mengkritik seorang perawi yang dinilai tidak memenuhi standar penerimaan riwayat dengan menyebutkan sifat-sifat tidak baik yang dimiliki oleh perawi tersebut sehingga riwayatnya tidak diterima. Adapun ta’dīl secara etimologis berarti menyeimbangkan sesuatu dengan yang lain, sedangkan secara terminologis berarti tindakan seseorang menilai sifat seorang perawi dengan menyebutkan sifat-sifat baik yang dimiliki oleh perawi tersebut sehingga riwayatnya dapat diterima. Lebih lanjut lihat Hasan Muhammad Maqbūli al-Ahdal, Mushthalah al-Hadīts wa Rijāluhu (Sana’ā: Maktabah al-Jail al-Jadīd, 1414 H/ 1993 M), h., 190.

[8] Tim Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), jil. 3, h. 311.

[9] Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, op. cit., h. 316.

[10] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, op. cit., h. 63.

[11] Hasan Muhammad Maqbūli al-Ahdal, op. cit., h. 77.

[12] Ibid.

[13] Muhammad Fuād ‘Abd al-Bāqī, Shahīh Muslim bi Syarh al-Nawāwi (Indonesia: Maktabah Dahlan, t. th.), jil. I, h. 5.

[14] Muhammad Mushthafā al-A’zami, Studies in Hadith Methodology and Literature, diterjemahkan oleh Meth Kieraha dengan judul Memahami Ilmu Hadis: Telaah Metodologi dan Literatur Hadis (Jakarta: Lentera, 2003), h. 165.

[15] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, op. cit., h. 64.

[16] Ibid., h. 65.

[17] Tim Redaksi Ensiklopedi Islam, loc. cit.

[18] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, loc. cit.

[19] Ibid.

[20] Ibid., h. 66.

[21] Ibid.

[22] Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, loc. cit.

[23] Tim Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 310.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar