Minggu, 04 Juli 2010

Hadis pada masa tabi'in

BAB I

PENDAHULUAN

Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukuan oleh para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah di kumpulkan satu mushaf. Di pihak lain, yang telah diirintis oleh para sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Usman para sahabat ahli hadis menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan Islam. Kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadis.

Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasan Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol, disamping Madinah, Makkah, Basrah, Syam dan Khurasan. sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pusat-Pusat Pembinaan Hadis

Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam meriwayatkan hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan Khurasan.[1]

Pusat pembinaan pertama adalah Madinah. Karena disinilah Rasul Saw menetap setelah hijrah. Disini pula Rasul Saw membina masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri atas Muhajirin dan Ansar, dari berbagai suku atau kabilah, disamping dilidunginya umat-umat non Muslim, seperti Yahudi. Dan para sahabat yang menetap disini diantaranya Khulafa Al-Rasyidin, Abu Hurairah, Siti ‘Aisyah, abdullah ibn Umar dan Abu Said Al-Khudri, dengan menghasilkan para pembesar Tabi’in, seperti Sa’id Ibn Al-Musyayyab, ‘Urwah Ibn Zubair, Ibn Shihab Al-Zuhri, Ubaidullah Ibn ’Utbah Ibn Mas’ud dan Salim Ibn Abdillah Ibn Umar.

Di antara para tabi’in yang membina hadis di Makkah seperti Mujtahid ibn Jabar, Atha ibn Abi Rabah, Thawus ibn kaisan, dan Ikrimah maula Ibn Abbas. Di Kufah, ialah Al-Rabi’ ibn Qasim, Kamal ibn Zaid Al-Nakha’i, Said ibn Zubair Al-Asadi, Amir ibn Sarahil Al-Sya’bi, Ibrahim Al-Nakha’i, dan abu Ishaq Al-sa’bi.di Basrah, ialah Hasan Al-basri, Muhammad ibn sirrin, Ayub Al-Sakhyatani, Yunus ibnu ‘Ubaid, Abdullah ibn ‘Aun, Khatadah ibn Du’amah Al-Sudusi, dan Hisyam ibn Hasan.di Syam, ialah Salim ibn Abdillah Al-Muharibi, Abu Idris Al-Khaulani, Abu Sulaiman Al-Darani, dan Umar ibn hana’i. Di Mesir, ialah Amr ibn Al-Haris, Khair ibn Nu’aimi Al-hadrami, Yazid ibn Abi habib, Abdullah ibn Abi jafar, dan Abdullah ibn Sulaiman Al-Thawil. Di Andalus, ialah Ziyad ibn An’am Al-Mu’afil, Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid ibn Rafi’, dan Muslim ibn Yasar. Di Yaman, ialah Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn Munabah, Thawus dan Ma’mar ibn Rasyid. Kemudian di Khurasan, para sahabat yang terjun, antara lain Muhammad ibn Ziyad ibn Tsabit Al-Anhsari, dan Yahya ibn Sabih Al-Mugri.[2]

B. Pergelokan Politik dan Pemalsuan Hadis

Pergelokan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang sififin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibat cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok (Khawarij, Syiah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke dalam ketiga kelompok tersebut).

Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan muncul hadis-hadis palsu ( Maudhu’) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan- lawannya.

Adapun pengaruh yang berakibat positif, adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.

C. Pembukuan Hadis Pada Masa Tabi’in

Para tabi’in menerima ilmu dari para sahabat. Mereka bergaul dekat, mengetahui segala sesuatu dari mereka, menerima banyak hadist Rasulullah dari mereka, dan mengetahui kapan para sahabat melarang serta membolehkan penulisan hadist.

Para Tabi’in senantiasa meneladani para sahabat. Mereka, para sahabat, adalah generasi pertama yang memelihara Al-Qura’an dan As-Sunnah. Maka, pada umumnya, para tabi’in dan para sahabat sependapat tentang masalah pembukuan hadits.[3] Faktor-faktor yang mendorong Khulafa ar-Rasyidin dan para sahabat menolak penulisan hadis juga adalah faktor yang mendorong tabi’in bersikap sama. Mereka memiliki satu sikap. Mereka menolak penulisan hadis selama sebab-sebabnya ada. Sebaliknya, jika sebab-seba tersebut tidak ada, mereka sepakat tentang kebolehan menuliskan hadis. Bahkan, kebanyakan dari mereka mendorong dan menumbuhkan sikap berani membukukan hadis

Diantara tabi’in yang melarang penulisan hadis adalah Ubaidah bin Amr as-Salmani al-Muradi (w. 72 H), Ibrahim bin Yazid at-Taimi (W. 92 H), Jabir bin Zaid (w. 93 H), dan Ibrahim an-Nakha’I (w. 96 H).

Ketidaksukaan Tabi’in untuk menulis hadis itu semakin bertambah ketika pendapat pribadi mereka dikenal oleh masyarakat luas. Mereka khawatir pendapat-pendapat itu di bukukan oleh murid-murid mereka bersama hadis sehingga timbul kekaburan.

Kami menyimpulkan bahwa tabi’in yang tidak menyukai penulisan hadits dan bertahan dengan sikap ini semata-mata didorong oleh rasa tidak suka pendapatnya dibukukan. “Adapun kabar yang bersumber dari mereka, yang menunjukkan keengganan generasi ini (tabi’in) menulis hadits harus ditafsirkan dengan tidak menyalahi kesimpulan kami bahwa mereka semua adalah ulama fikih.” Tidak ada seorang pun ahli hadits di antara mereka yang bukan ahli fikih.

Semua sikap tabi’in itu diriwayatkan dari para ulama yang kemudian dikutip oleh sejarawan. Hal itu menunjukkan secara jelas bahwa mereka bukan menolak penulisan hadis, tetapi menolak penulisan pendapat pribadi. Kabar-kabar yang berisi larangan menulis hanyalah bermaksud larangan menulis pendapat.[4] Hal ini serupa dengan ketidaksukaan Rasulullah Saw dan para sahabat generasi pertama terhadap penulisan hadis yang dilandasi kekhawatiran bahwa hadis akan bercampur dengan Al-Qur’an atau terjadi pengabaian Al-Qur’an.

Pendapat diatas diperkuat oleh kabar-kabar dari tabi’in. Mereka mendorong penulisan hadis dan membolehkan murid mereka menulis hadis dari mereka. Para tabi’in menulis hadis di dalam kelompok-kelompok kajian para sahabat. Bahkan, sebagian dari mereka sangat bersemangat menulis hadis. Bukti tentang hal ini antara lain sebagai berikut.

Sa’id bin Jubair (w. 95 H) menulis hadis dari Ibnu Abbas. Ketika lembaran-lembaran miliknya telah penuh dengan hadis, Sa’id menulis hadis di sandalnya sehingga penuh dengan hadis. Diriwayatkan pula dari Sa’id bahwa ia berkata, ketika saya berjalan bersama Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, saya mendengar hadis dari keduanya. Maka, saya menulis hadis itu diatas kendaraan dan setelah turun saya menuliskannya kembali.

Amir asy-Syabi berkata, “Tulisan itu adalah pengikat ilmu.” Ia mendorong penulisan hadis dengan berkata, Jika kamu mendengar sesuatu dariku maka tulislah sekalipun di dinding. Ia mendiktekan hadis kepada murid-muridnya dan mendorong mereka menulis hadis.

Tulisan-tulisan itu tersebar luas sehingga al-Hasan al-Basri (w. 110 H) berkata, kami memiliki tulisan-tulisan yang selalu kami pelihara. Umar bin Abdul Aziz (61-101 H) juga menulis hadis. Diriwayatkan dari Abu Qilabah bahwa ia berkata, “Umar bin Abdul Aziz mendatangi kami untuk shalat zuhur sambil membawa kertas. Ketika ia mendatangi kami untuk shalat ashar, ia juga membawa kertas. Saya bertanya kepadanya, Wahai Amirul-Mukminin, tulisan apakah ini? Ia menjawab, ini adalah hadis yang saya terima dari Aun bin bin Abdullah. Saya mengagumi hadis ini sehingga saya menulisnya.

Hal di atas membuktikan bahwa penulisan hadis telah meluas diantara generasi-generasi tabi’in, dan tidak bisa diingkari penulisan hadis pada masa-masa terakhir abad pertama dan masa-masa permulaan abad kedua. Pada masa itu telah banyak lembaran dan tulisan.[5] Mujahid bin Jabr (w. 103 H), misalnya, mengijinkan sebagian sabatnaya masuk ke kamarnya, lalu ia menyerahkan tulisannya kepada mereka untuk di salin.

Hisyam bin Abdul Malik meminta salah seorang pejabat agar bertanya kepada Raja’ bin Haiwah (w. 122 H) tentang suatu hadis. Raja’ berkata, “Saya tentu lupa akan hadis itu sekiranya hadis itu tidak saya tulis.

Atha bin Abi Rabah (w. 122 H) menulis hadis untuk dirinya. Ia memerintahkan anaknya menuliskan hadis untuknya. Murid-muridnya juga menulis hadis di hadapannya. Ia mendorong para muridnya mempelajari dan menulis hadis.

Gerakan ilmiah semakin aktif dengan kegiatan penulisan hadis dan mempelajarinya dari para ulama. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat dari al-Walid bi Abi as-Saib, ia berkata “saya melihat Makhul, Nafi’ dan Atha disodori banyak hadis.

Seseorang bertanya kepada Nafi tentang penulisan hadis (setelah penulisan hadis meluas dan menjadi kebutuhan setiap penuntut ilmu). Nafi menjawab, Apa yang menghalangimu menulis hadis, sedangkan Allah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui memberitahukan bahwa dia menulis, seperti dalam firman-Nya,

A$s% $ygßJù=Ïæ yZÏã În1u Îû 5=»tGÏ. ( žw @ÅÒtƒ În1u Ÿwur Ó|¤Ytƒ ÇÎËÈ

“Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa;” (QS. Thaha: 54)

D. Jasa Umar Bin Abdul Aziz terhadap As-Sunnah pada Masa Tabi’in

Di kala kendali khalifah di pegang oleh Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99 H, dari dinasti Umayyah. Sebagai Amirul Mukminin ia tidak jauh dari ulama, ia menulis sebagian hadis serta memotivasi para ulama agar mereka berani melakukan hal yang sama.[6] Hal yang mendorongnya adalah aktivitas para tabi’in ketika itu dan sikap mereka membolehkan ketika tidak ada lagi sebab-sebab untuk melarangnya. Ia melakukan upaya-upaya pemeliharaan hadis karena khawatir hadis akan hilang. Sebab lain yang berpengaruh terhadap jiwa para ulama, yaitu munculnya praktek pemalsuan hadis yang dilatar belakangi oleh persaingan politik dan perselisihan antar aliran.[7]

Pemerintahan di bawah kepemimpinan umar bin Abdul Aziz mengambil langkah tepat dengan memprakarsai penghimpunan hadis secara resmi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkirim surat keseluruh wilayah Islam.

Di dalam surat yang ditujukan kepada penduduk Madinah, Umar bin Abdul Aziz berkata, “lihatlah hadis Rasulullah Saw., kemudian tulislah karena saya mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan kematian orang yang memilikinya.” Dan, dalam surat yang di tujukan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (w. 117 H), seorang pejabat Madinah, ia memerintahkan kirimkan kepadaku hadis Rasulullah Saw. Yang kamu nilai benar dan hadis umrah karena saya mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan kematian orang-orang yang memilikinya. “disebutkan dalam satu riwayat bahwa ia memerintahkan Abu Bakar bin Muhammad menuliskan ilmu yang dimiliki oleh Umrah putri Abdurrahman (w. 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad (w. 107 H), dan Abu Bakar menuliskannya untuknya. Dan, janganlah engkau menerima kecuali hadis Nabi Saw. Hendaklah mereka menyebarkan ilmu dan duduk sehinggga ilmu itu diketahui oleh orang yang belum mengetahuinya karena ilmu itu tidak akan binasa.

Umar bin Abdul Aziz juga memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri (w. 124 H) dan lain-lainnya menghimpun sunnah-sunnah Rasulullah. Ia tidak merasa cukup dengan memerintahkan orang-orang secara khusus ditugaskan menghimpun hadis. Ia mengirim surat ke berbagai wilayah Islam, mendorong para pejabat di wilayah-wilayah itu agar mereka menumbuhkan sikap berani para ulama dalam mengkaji dan menghidupkan As-Sunnah.

Ia meminta Abu Bakar Hazm (salah seorang ilmuan pada masanya) untuk menghimpun hadis. Sebagaimana di sebutkan oleh sebagian ulama, Umar bin Abdul Aziz, Khulafa ar-Rasyidin yang kelima, meninggal dunia sebelum melihat tulisan-tulisan yang berhasil di himpun oleh Abu Bakar.[8]

Demikianlah, akhir abad pertama dan awal abad kedua Hijriah merupakan masa penutup sikap pro dan kontra tentang penulisan hadis. Maka di bukukanlah Sunnah Rasulullah saw. Dalam lembaran, kitab, dan buku.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Kabar dari tabi’in yaitu tentang larangan atau izin penulisan hadis, tidak timbul sebagai akibat adanya dua kelompok, yang salah satunya membolehkan penulisan hadis dan yang lain melarangnya. Yang benar, mereka membolehkan penulisan hadis ketika sebab-sebab pelarangnya tidak ada. Sebaliknya, mereka melarang penulisan hadis hadis ketika di temukan sebab-sebab pelarangannya, seperti ke khawatiran tercampurnya Al-Qur’an dengan As-Sunnah atau kekhawatiran jika Al-Qur’an disamakan dengan kitab-kitab hadis.

Umar bin Abdul bin Aziz mengkhawatirkan hilangnya As-Sunnah dan terjadinya pemalsuan terhadapnya, maka ia memerintahkan penghimpunan As-Sunnah oleh para ulama tabi’in. ia memerintahkan semua pejabat di berbagai wilayah kekuasaan Islam untuk memperhatikan hadis dan menumbuhkan keberanian para ulama membentuk kelompok-kelompok pengkajian hadis di mesjid-mesjid. Umar sendiri, bersama-sama ulama, terjun langsung mewujudkan prakarsa itu. Sebelum meninggal, ia membagi-bagikan apayang berhasil ditulis oleh Imam az-Zuhri. Umar berjasa besar dengan menugaskan pejabat pemerintah memelihara As-Sunnah secara resmi.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Ajaj, As-Sunnah Qablat-Tadwin, Beirut: Darul Fikr Cet. V Th. 1401 H-1981 M.

Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: PT Bulan Bintang, Cet. Ke-11 1993.

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. ke-4, 2003.



[1] Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. ke-4, 2003.

[2] M. Hasbi ,Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: PT Bulan Bintang, Cet. Ke-11 th. 1993. hlm. 74-75

[3] Al-Khatib, Muhammad Ajaj, As-Sunnah Qablat-Tadwin, Beirut: Darul Fikr Cet. V Th. 1401-1981 M. Hlm. 363

[4] Ibid. Hlm. 366.

[5] Ibid. hlm. 368

[6] Ibid. 369

[8] Ibid. hlm. 373.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar