Rabu, 21 Juli 2010

IMAM BUKHARI

A. Pendahuluan

Sejarah mencatat sejuta lebih hadis beredar pada akhir abad kedua Hijriyah. Tugas mengumpulkan serta mengklasifikasikan antara hadis yang sahih dan hadis yang dha’if dirasa sangat berat, namun ulama-ulama tetap tekun mengerjakannya. Seringkali mereka berjalan ribuan mil untuk memastikan kemungkinan satu mata rantai dalam rantai periwayatan, atau kebenaran satu kata atau ungkapan dalam teks hadis. Usaha mereka menghasilkan enam kumpulan hadis terpercaya yang diterima secara universal. Adapun kumpulan hadis tersebut adalah karya al-Bukhāri, Muslim, Abu Dawūd, al-Nasāi, al-Tirmidzi dan Ibn Mājah. Dua kumpulan lainnya juga dianggap terpercaya oleh umat Islam, yaitu karya Mālik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal.

Imam Bukhari adalah seorang ulama hadis yang amat diakui tingkat intelegensinya oleh para ulama lainnya. Hal ini dikarenakan kejeniusan serta produktifitas yang dimiliki oleh beliau. Shahīh al-Bukhāri merupakan salah satu produk Imam Bukhari yang monumental dan diakui para ulama sebagai kitab referensi kedua umat Islam setelah Alquran. Berikut akan dijelaskan tentang biografi singkat Imam Bukhari serta karya fenomenalnya Shahīh al-Bukhāri.

B. Imam Bukhari dengan Shahihnya

1. Biografi Imam Bukhari

Nama beliau adalah Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ismā’īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah ibn al-Bardizbah al-Ju`fi. Imam Bukhari dilahirkan pada tanggal 13 Syawal 194 H/ 810 M di Bukhara, sebuah kawasan di Khurasan (Turkistan Barat).[1]

Ayahnya meninggal dunia tatkala beliau masih kanak-kanak dan meninggalkan banyak harta yang cukup untuk hidup dengan baik dan terhormat. Dia dipelihara dan dididik oleh ibunya.[2]

Kecerdasan Imam Bukhari sudah tampak sejak kecil. Allah menganugerahinya daya hafalan yang sangat kuat.[3] Ia mulai memperoleh ilmu mengenai hadis Nabi ketika berusia sepuluh tahun[4] dengan selalu datang dan mempelajari ilmu hadis kepada al-Dākhili, salah seorang ulama yang mumpuni dalam bidang tersebut. Setahun kemudian, dia mulai menghafal hadis Nabi saw, dan sudah mulai berani pula mengoreksi kesalahan dari guru yang keliru menyebutkan periwayatan hadis. Dalam usia 16 tahun, dia telah menghafal hadis yang terdapat dalam kitab karangan Ibn Mubārak dan Wāki’ al-Jarrah.[5]

Pada usia 16 tahun ini pulalah, ia melawat ke Mekah yang ditemani ibu dan kakaknya.[6] Tampak ia mencintai Mekah dan kaum agama terpelajar setelah mengucapkan selamat jalan kepada ibu dan kakaknya. Ia menetap di Mekah selama 2 tahun, kemudian pindah ke Madinah. Usai menghabiskan waktu 6 tahun di al-Hijaz yang berada diantara Mekah dan Madinah, ia menuju Bashrah, Kufah dan Baghdad, serta mengunjungi banyak tempat termasuk Mesir dan Syiria.[7] Ia banyak berkunjung ke Baghdad, bertemu dengan kaum terpelajar Muslim, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal.[8]

Sejarah menyebutkan perjuangan Imam Bukhari dalam mengumpulkan hadis Nabi saw. Banyak tempat yang dikunjunginya demi untuk mengumpulkan mutiara tak ternilai yang keluar dari bibir Nabi saw yang mulia. Konon ia telah mengumpulkan lebih dari 300.000 hadis dan mampu diingatnya 200.000 hadis, yang beberapa diantara hadis tersebut tidak dapat dipercaya. Memang ia lahir tatkala hadis Nabi dipalsukan sedikit demi sedikit untuk menyenangkan para raja maupun penguasa atau mengurangi nilai-nilai agama Islam.[9]

Pada umur enam belas tahun, selain mampu menghafal kitab hadis, beliau juga sudah mampu mengarang kitab, adapun karangan-karangan beliau antara lain: (1) Qadlāyā al-Shahābah wa al-Tābi’īn; (2) Al-Tārīkh al-Kabīr; (3) Al-Tārīkh al-Ausath; (4) Al-Tārīkh al-Saghīr; (4) Adabul Mufrad; (5) Al-Qirā’ah Khalfa al-Imām; (6) Bir al-Wālidaini; (7) Khalqu af’al al-‘Ibād; (8) Raf’u al-Yadaini fi al-Shalāh; (9) Kitāb al-Dhu’afā; (10) Al-Jāmi’ al-Kabīr; (11) Al-Musnad al-Kabīr; (12) Al-Tafsīr al-Kabīr; (13) Kitāb al-Asyribah; (14) Kitāb al-Hibbah; (15) Asmā al-Shahābah; (16) Kitāb al-Wihdan; (17) Kitāb al-Mabsūth; (18) Kitāb al-‘Ilāl; (19) Kitāb al-Kunnā; (20) Kitāb al-Jāmi` al-Musnad al-Shahīh al-Mukhtasar Min Umūri Rasūl Allah–Shallallahu ‘Alaihi Wasallam–Wa Sunanihi Wa Ayyāmihi, atau yang lebih dikenal dengan Shahīh al-Bukhāri.[10]

Diceritakan bahwa sebelum Imam Bukhari menghimpun “Shahīh al-Bukhāri”, ia bermimpi berdiri di hadapan Nabi saw dengan sebuah kipas di tangannya dan mengusir lalat dari Nabi saw. Imam Bukhari meminta beberapa orang agar menafsirkan mimpi itu. Mereka menyatakan bahwa ia akan menyingkirkan kekeliruan yang nyata-nyata dari para penentang Rasul saw. Selain itu, beliau menyusun kumpulan hadis sahih ini atas motivasi dari gurunya yang bernama Ishak bin Rahawaih.[11]

Jadi inilah tugas agung baginya untuk menyaring hadis-hadis palsu dari yang asli (shahih). Ia bekerja keras siang dan malam. Sebelum mencatat hadis, ia berwudhu terlebih dahulu dan shalat dua rakaat serta berdoa kepada Allah. Banyak kalangan terpelajar Islam yang mencoba mencari-cari kesalahan di dalam kumpulan yang menakjubkan itu, tetapi selalu gagal. Untuk alasan inilah, mereka dengan suara bulat sepakat bahwa kitab yang paling asli setelah Alquran adalah “Shahīh al-Bukhāri”. [12]

Imam Bukhari adalah seorang imam mujtahid yang memiliki pendapat sendiri, walaupun pada mulanya beliau bermazhab Syafi’i.[13] Beliau wafat pada malam sabtu selesai shalat `Isya, tepat pada malam Idul Fitri 1 Syawal tahun 256 H/31 Agustus 870 M, dalam usia 62 tahun kurang 13 hari, dan dikebumikan sehabis shalat Zuhr di Khartank, sebuah desa dekat Samarkand.[14]

2. Kitab al-Jāmi’ al-Shahīh al-Musnad al-Mukhtasar min Umūri Rasulillah shalallahu’alaihi wasallam wa sunanihi wa ayyāmihi[15] (al-Jāmi’ al-Shahīh)[16]

(1.) Metode Al-Bukhari dalam menyusun Shahīh al-Bukhāri

Sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa karya Imam Bukhari merupakan yang paling otentik dari semua kepustakaan mengenai hadis Nabi saw. Keotentikan karya Imam Bukhari oleh para sarjana Islam diungkapkan dengan pernyataan, “Buku yang paling otentik setelah kitab Allah (Alquran) adalah Shahīh al-Bukhāri.”[17]

Shahīh al-Bukhāri dikategorikan sebagai kitab pertama yang berisi kumpulan hadis. Kitab ini disusun oleh Imam Bukhari pada awal abad ke-III H.[18]

Untuk menyusun hadis sahih, Imam Bukhari telah menempuh cara tertentu sehingga kesahihan hadisnya dapat dipertanggung jawabkan. Beliau telah berusaha keras untuk meneliti keadaan para perawi, untuk memastikan kesahihan hadis-hadis yang diriwayatkannya. Beliau selalu membanding-bandingkan yang satu dengan lainya, meneliti dan memilih hadis yang menurutnya paling sahih. Sebagaimana penegasan Imam Bukhari: “Aku menyusun kitab al-Jāmi’ al-Shahīh ini adalah hasil saringan dari 600.000 hadis selama 16 tahun.”[19]

Disamping menggunakan metode ilmiah dalam penelitiannya, Imam Bukhari juga tidak mengabaikan aspek ruhani. Salah satu muridnya yang bernama al-Firbāri mengatakan: “Aku mendengar Muhammad ibn Ismā’īl al-Bukhāri berkata”: “Aku menyusun al-Jāmi’ al-Shahīh ini di Masjidil Haram. Aku tidak akan memasukan satu hadis pun kedalam kitab itu sebelum sholat Istikharah dua rakaat, dan setelah itu aku betul-betul meyakini bahwa hadis itu sahih.”

Maksudnya, Imam Bukhari mulai menyusun kitāb[20] dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram, kemudian menulis pendahuluan dan pembahasannya di Raudhah. Setelah itu beliau mengumpulkan hadis dan menempatkannya pada kitāb-kitāb yang sesuai. Semua itu dilakukan di Mekkah, Madinah dan di beberapa negara tempat pengembaraannya. Dengan tekun dan cermat, Imam Bukhari menyusun kitab Shahīh al-Bukhāri selama 16 tahun. Beliau meneliti, menyaring, dan memilih hadis sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkannya, sehingga terwujudlah kitab itu sesuai dengan keinginannya.

Jerih payah maksimal yang dicurahkan untuk menyusun kitab itu, membuat Shahīh al-Bukhāri mencapai kebenaran dan mempunyai kedudukan tinggi di hati para ulama dan seluruh umat Islam. Sudah tepatlah bila ia mendapat predikat sebagai “Kitab hadis Nabi yang paling sahih”.[21]

(2.) Sistematika Kitab Shahīh al-Bukhāri

Shahīh al-Bukhāri terdiri dari beberapa kitāb. Dimulai dengan kitāb Bad’i al-Wahyi (bab Permulaan Wahyu), yang menjadi dasar utama bagi syariat Islam. Kemudian disusul dengan kitāb al-Imān (bab Iman), kitāb al-‘Ilm (bab Ilmu), kitāb al-Wudhū (bab Kebersihan), kitāb al-Sholāh (bab Sholat),[22] kitāb al-Zakāh (bab Zakat) dan seterusnya.[23] Dalam naskah terdapat beberapa perbedaan mengenai urutan antara kitāb al-Shaūm (bab Puasa) dan kitāb al-Hajj (bab Haji).[24]

Kemudian kitāb al-Buyū’ (bab Jual-beli),[25] kitāb al-Sulh (bab Perdamaian), kitāb al-Syurūth (bab Persyaratan), kitāb al-Washāyā (bab Wasiat), dan kitāb al-Jihād wa al-Sair (bab Jihad dan Sejarah).[26] Selanjutnya kitāb-kitāb yang tidak menyangkut fiqih, seperti kitāb Bad’i al-Khalqi (bab Penciptaan Makhluk), kitāb al-Anbiyā ‘alaihim al-Shalāh wa al-Salām ( bab Riwayat para Nabi), [27]kitāb al-Manāqib (bab Manaqib Quraisy) dan kitāb Fadhāil Ashāb al-Nabi (bab Keutamaan Sahabat).[28]

Selanjutnya kitāb al-Sīrah al-Nabawiyyah (bab Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad) dan kitāb al-Magāzi (bab peperangan) serta hadis yang berkaitan dengannya.[29] Lalu kitāb al-Tafsīr (bab Tafsir),[30] kemudian kembali lagi kemasalah fiqih mengenai kitāb al-Nikāh (bab Nikah), kitāb al-Thalāq (bab Perceraian) dan kitāb al-Nafaqah (bab Pemberian Nafkah). Kemudian kitāb al-Ath’imah (bab Makanan), kitāb al-Asyribah (bab Minuman), kitāb al-Thibb (bab Kedokteran), kitāb al-Adāb (bab Perilaku), kitāb al-Birr (bab Kebaikan), kitāb al-Shilāh (bab Menyambung Tali Silaturrahmi), dan kitāb al-Isti’zān (bab Meminta Izin). Kemudian kitāb al-Nuzur (bab Nazar) dan kitāb al-Kaffārat (bab Sumpah), kitāb al-Hudūd (bab hukum pidana), kitāb al-Ikrāh (bab Pemaksaan), kitāb al-Ta’bir al-Ru’yah (bab Ta’bir), kitāb al-Fitan (bab Fitnah), serta kitāb al-Ahkām (bab Hukum). Dalam bab ini juga dimuat kitāb Manāqib al-Anshār (bab para penguasa dan para hakim).[31] Kemudian kitāb al-I’tisām bi al-Kitāb wa al-Sunnah (bab Komitmen dengan Alquran dan al-Sunnah), dan terakhir kitāb al-Tauhīd (bab Tauhid), sebagai penutup kitab sahihnya yang terdiri dari 97 kitāb dan 3.450 bāb.[32]

Namun perlu diketahui, dalam naskah-naskah yang ada, terdapat beberapa perbedaan, yaitu ada kitāb yang dianggap sebagai bāb, juga sebaliknya, ada bāb yang dianggap sebagai kitāb. Hal ini dapat diketahui melalui murāja’ah atau penelitian terhadap matan Shahīh al-Bukhāri yang sudah dicetak kitab syarh-nya.[33]

Dalam Shahīh al-Bukhāri ada beberapa kitāb yang memuat banyak hadis. Ada pula kitāb yang hanya berisi satu hadis, dan ada pula kitāb yang berisi ayat-ayat Alquran, tanpa hadis, bahkan ada pula yang kosong tanpa isi. Tampaknya Imam Bukhari belum mendapatkan hadis untuk mengisi kitāb itu sesuai dengan kriterianya. Oleh karena itu kitāb tersebut dibiarkan kosong, dengan harapan suatu saat akan menemukan hadis-hadis yang memenuhi kriteria kesahihannya.[34]

Sebenarnya Imam Bukhari tidak menetapkan kriteria tertentu dalam penerimaan hadis. Akan tetapi, para ulama menarik kesimpulan berdasarkan metode yang ia terapkan dalam penyusunan Shahīh al-Bukhāri.[35] Adapun kriteria keshahihan penerimaan hadis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Periwayatnya haruslah orang yang berkepribadian sangat luhur, dan termasuk dalam golongan yang sangat tinggi dalam penguasaan literatur dan standar akademis;

2. Harus ada informasi positif bahwa para periwayatnya saling bertemu dan bahwa si murid belajar dari Syaikh-nya.[36] Dalam hal ini, menurut Imam Bukhari tidak cukup bagi seorang perawi hanya hidup semasa dengan Syaikh-nya. Ia juga harus bertatap muka langsung dengan Syaikh-nya itu walaupun hanya sekali dalam seumur hidup.[37]

(3.) Jumlah Hadis dalam Shahīh al-Bukhāri

Ibn Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, jumlah hadis sahih dalam Shahīh al-Bukhāri sebanyak 7.275 buah, termasuk hadis yang terulang didalamnya, atau sebanyak 4.000 hadis tanpa pengulangan. Perhitungan itu diikuti oleh Syaīkh Muhyi al-Dīn al-Nawāwi dalam kitabnya Al-Taqrib.[38]

Ibn Hajar al-Atsqalāniy telah menghitung hadis Shahīh al-Bukhāri dengan teliti. Kejelian penghitungan ini ditunjang oleh penulis syarh kitab sahih itu (Fath al-Bāri’). Di akhir setiap kitāb, ia menyebutkan jumlah hadis mausūl yang marfū’, hadis mu’allaq dan hadis Muttābi’, serta perkataan para sahabat dan tabi’in.[39] Maka dari itu hasil perhitungan yang dilakukannya itu lebih baik dibanding ulama lain.

Dalam Muqaddimah Fath al-Bāri, Ibn Hajar menyebutkan bahwa:

Ø Seluruh hadis Shahīh al-Bukhāri yang mausūl tanpa mengulang sebanyak 2.602 buah.

Ø Jumlah matan hadis mu’allaq namun marfū’ yang tidak disambung pada tempat lain sebanyak 159 buah.

Ø Jumlah semua hadis termasuk yang diulang sebanyak 7.397 buah.

Ø Jumlah hadis mu’allaq sebanyak 1.341 buah.

Ø Jumlah hadis muttābi’ sebanyak 344 buah.

Ø Jumlah seluruhnya termasuk yang diulang sebanyak 9.082 buah.

Jumlah hadis Shahīh al-Bukhāri yang disebut di atas di luar hadis mauqūf kepada sahabat dan riwayat dari tabi’in dan ulama sesudahnya.[40]

Ibn Hajar berkata: “Itulah jumlah hadis Shahīh al-Bukhāri yang kami hiutng dengan teliti berkat pertolongan Allah. Kami belum mengakui bahwa kami tidak lepas dari kesalahan. Dan hanya Allah tempat memohon pertolongan.”[41]

(4.) Kitab Syarh Shahīh al-Bukhāri Yang Terkenal

Buku Syarh Shahīh al-Bukhāri cukup banyak jumlahnya. Menurut pengarang Kasyf al-Zunūn, tidak kurang dari 82 macam. Belum termasuk buku syarh yang ditulis sesudah Kasyf al-Zunūn. Di antara kitab syarh yang paling terkenal ialah: (1) Al-Kawākib al-Durari Fī Syarh Shahīh al-Bukhāri karangan Syams al-Dīn Muhammad ibn Yūsuf ibn ‘Āli al-Kirmāni, (2) Fath al-Bāri Syarh Shahīh al-Bukhāri karangan Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar Al-Atsqalāni, (3) ‘Umdah al-Qāri karangan Badr al-Dīn Mahmūd bin Ahmad al-‘Aini al-Hanafi, dan (4) Irsyād al-Sāri ila Shahīh al-Bukhāri karangan Ahmad bin Muhammad al-Qasthalāni.[42]

C. Penutup

Demikianlah beberapa penjelasan mengenai Imam Bukhari serta kitab Shahīh-nya yang telah kami rangkum dari berbagai referensi. Imam Bukhari, dengan segala kelebihan yang dimilikinya, baik dari segi intelektualitas serta spiritualitas, telah mampu membuktikan produktifitasnya dengan membuat sebuah produk monumental yang menakjubkan dan memperoleh pengakuan dari para ulama. Dengan banyaknya pengakuan para ulama tentang keistimewaan yang ada didalam Shahīhnya, maka hal ini membuktikan bahwa kitab ini memang layak menempati tempat sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran.

DAFTAR PUSTAKA

Ahdal, Hasan Muhammad Maqbūli al-, Mushthalah al-Hadīts wa Rijāluhū, Sana’ā: Maktabah al-Jail al-Jadīd, 1414 H/ 1993 M.

Atsqalāni, Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘, Hadyu al-Sāri Muqaddimah Fath al-Bāri bi Syarh Shahīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Fikr, 1416 H/ 1996 M.

A’zami, Muhammad Mushthafā al-, Studies in Hadith Methodology and Literature, diterjemahkan oleh Meth Kieraha dengan judul Memahami Ilmu Hadis: Telaah Metodologi dan Literatur Hadis, Jakarta: Lentera, 2003.

Bukhāri, Muhammad ibn Ismā’īl al-, Shahīh al-Bukhāri, tahqīq: Qāsim al-Syammā’ī al-Rifā’i, Beirut: Dār al-Qalam, 1407 H/ 1987 M.

Khathīb, Muhammad ‘Ajjāj al-, Ushūl al-Hadīts: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H/ 1989 M.

Najjār, Muhammad al-Thayyib al-, Tadwīn al-Sunnah, Kairo: al-Majlīs al-A’lā li al-Syu’ūn al-Islāmiyah, 1384 H/ 1964 M.

Rahman, Fathur, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung: al-Ma’arif, cet. 7, 1991.

Syuhbah, Muhammad Muhammad Abu, Fi Rihābi al-Sunnah al-Kutub al-Shihāhi al-Sittah, diterjemahkan oleh Ahmad Usman dengan judul Kutubus Sittah, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.

Tim Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.

Zābidi, Zain al-Dīn Ahmad ibn ‘Abd al-Lathīf al-, Al-Tajrīd al-Shahīh li Ahādīts al-Jāmi’ al-Shahīh, diterjemahkan oleh Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis dengan judul Ringkasan Shahīh al-Bukhāri, Bandung: Mizan, cet. 9, 2003.

Zahwu, Muhammad Muhammad Abu, Al-Hadīts wa al-Muhadditsūn, Kairo: Maktabah Misr Syirkah Sahīmah Mishriyyah, t. th.



[1] Qāsim al-Syammā’ī al-Rifā’i, “Muqaddimah” dalam Shahīh al-Bukhāri (Beirut: Dār al-Qalam, 1407 H/ 1987 M), jil. I, h. 719-732.

[2] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihābi al-Sunnah al-Kutub al-Shihāhi al-Sittah, diterjemahkan oleh Ahmad Usman dengan judul Kutubus Sittah (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h. 37.

[3] Ibid., h. 38.

[4] Fathur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis (Bandung: al-Ma’arif, 1991), cet. 7, h. 327.

[5] Tim Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), jil. 1, h. 259.

[6] Muhammad Thayyib al-Najjār, Tadwīn al-Sunnah (Kairo: Al-Majlīs al-A’lā li al-Syu’ūn al-Islāmiyyah, 1484 H/ 1964 M), h. 48.

[7] Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, Ushūl al-Hadīts: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H/ 1989 M), h. 310.

[8] Muhammad Mushthafā al-A’zami, Studies in Hadith Methodology and Literature, diterjemahkan oleh Meth Kieraha dengan judul Memahami Ilmu Hadis: Telaah Metodologi dan Literatur Hadis (Jakarta: Lentera, 2003), h. 152-153.

[9] Zainuddīn Ahmad ibn ‘Abd al-Lathīf al-Zābidi, Al-Tajrīd al-Shahīh li Ahādīts al-Jāmi’ al-Shahīh, diterjemahkan oleh Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis dengan judul Ringkasan Shahīh al-Bukhāri (Bandung: Mizan, 2003), cet. 9, h. xi.

[10] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Atsqalāni, Hadyu al-Sāri Muqaddimah Fath al-Bāri bi Syarh Shahīh al-Bukhāri (Beirut: Dār al-Fikr, 1416 H/ 1996 M), jil. 2, h. 204.

[11] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, op. cit., h. 46. Lihat pula Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadīts wa al-Muhadditsūn (Kairo: Maktabah Misr Syirkah Sāhimah Mishriyyah, t.th.), h. 353.

[12] Zainuddīn Ahmad ibn ‘Abd al-Lathīf al-Zābidi, op. cit., h. xiii.

[13] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, op. cit., h. 50.

[14] Ibid., h. 41. Lihat pula Qāsim al-Syammā’ī al-Rifā’i, op. cit., h. 54-55.

[15] Penamaan ini diberikan oleh Imam Bukhari karena beberapa sebab: (1) Kata “al-Jāmi’” berarti bahwa kitab ini mencakup keseluruhan konsep hukum, keistimewaan serta informasi mengenai berbagai perkara, baik itu yang dahulu, sekarang ataupun yang akan datang; (2) Kata “al-Shahīh” berarti bahwa Imam Bukhari amat menjaga kemurnian hadis sahih dari hadis yang dha’if; (3) Kata “al-Musnad” berarti bahwa Imam Bukhari hanya meriwayatkan hadis yang disandarkan pada Rasulullah saja. Lihat Muhammad ‘Ajjaj al-Khathīb, op.cit., h. 313.

[16] Selanjutnya disebut Shahīh al-Bukhāri.

[17] Zainuddīn Ahmad ibn ‘Abd al-Lathīf al-Zābidi, loc. cit.

[18] Hasan Muhammad Maqbūli al-Ahdal, Musthalah al-Hadīts wa Rijāluhu (Sana’ā: Maktabah al-Jail al-Jadīd, 1414 H/ 1993 M), h. 73.

[19] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, op. cit., h. 46-47.

[20] Dalam kitab kumpulan hadis, terma kitāb berarti bab, sedangkan bāb berarti sub-bab.

[21] Ibid.

[22] Muhammad ibn Ismā’īl al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhāri (Beirut: Dār al-Qalam, 1407 H/ 1987 M), juz 1, jil. 1, h. 57, 66, 94, 131, 216.

[23] Ibid., juz 2, jil. 1, h. 592.

[24] Ibid., juz 3, jil. 2, h. 62 .

[25] Ibid., h. 115.

[26] Ibid., juz 4, jil. 2, h. 360, 369, 386, 406.

[27] Ibid., h. 540, 582.

[28] Ibid., juz 5, jil. 3, h. 14, 60.

[29] Ibid., h. 157.

[30] Ibid., juz 6, jil. 3, h. 328.

[31] Ibid., juz 5, jil. 3, h. 99.

[32] Ibid., juz 8, jil. 4, h. 321.

[33] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, op. cit., h. 51.

[34] Ibid.

[35] Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, op. cit., h. 312.

[36] Muhammad Mushthafā al-A’zami, op. cit., h. 156.

[37] Muhammad ‘Ajjāj al-Khathīb, op. cit., h. 313.

[38] Hasan Muhammad Maqbūli al-Ahdal, op. cit., h. 74.

[39] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Atsqalāni, op.cit., jil. 1, h. 18.

[40] Ibid., h. 19.

[41] Ibid., h. 20.

[42] Hasan Muhammad Maqbūli al-Ahdal, op. cit., h. 75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar