Minggu, 04 Juli 2010

Ilmu Jarah wa ta'dilI

Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para pendahulu selalu menjaga Aquran dan hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Alquran dan ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Di dalam makalah ini akan dibahas ilmu yang membahas yang memberikan kritikan adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi yang disebut dengan ilmu Al-jarh wa at-ta'dil.
Ilmu Al-Jarh wa at-ta'dil pada hakikatnya suatu bagian dari ilmu Rijalul Hadis. Akan tetapi, oleh karena ilmu Al-jarh wa at-ta'dil ini dipandang suatu bagian terpenting, maka jadilah ilmu yang berdiri sendiri.
Ilmu Al-jarh wa at-ta'dil merupakan ilmu yang menerangkan tentang hal-hal kecacatan yang menunjukkan sifat-sifat ketercelaan dan keadilan perawi hadis. Kemunculan ini erat kaitannya dengan kemunculan hadis-hadis palsu. Seandainya para tokoh kritikus rawi tidak mencurahkan segala perhatiannya dalam masalah kemunculan hadis-hadis palsu dengan dimulainya dari kasus pembunuhan Khalifah Ustman bin Affan yang berkembang menjadi kemunculan sekte-sekte hadis berlatar belakang politik dan hawa nafsu, niscaya akan terjadi kekacauan dalam urusan Islam.
Meneliti keadaan para rawi, menguji hapalan dan kekuatan ingatannya, hingga untuk itu para kritikus rawi menempuh rihlah yang panjang dan senantiasa mengingatkan untuk teliti dan berhati-hati terhadap perawi yang berdusta. Untuk lebih jelasnya dibicarakan dalam makalah ini.

A. Pengertian Al-Jarh wa At-Ta'dil
Kata al-Jarh merupakan masdar dari jaraha-yazrahu, yang berarti melukai atau cacat. Ilmu jarh adalah ilmu yamg mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadis mendefinisikan al-jarh sebagai kecacatan pada perawi hadis karena sesuatu yang dapat merusak keadilan dan kedhabitannya.
Kata ta'dil merupakan masdar dari kata 'addala yang berarti meluruskan atau membetulkan sesuatu. Yang dari segi bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan) berarti lawan dari al-jarah, yaitu pembersihan atau penyucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dhabit.
Ulama lain mendefinisikan al-jarh dan ta'dil dalam satu definisi, yaitu ilmu yang membahs tentang perawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafal tertentu.

B. Asal Usul dan Pertumbuhan Ilmu Al-Jarh wa at-Ta’dil
` Al-jarh wa at-ta’dil dan pembahasanya tentang rawi-rawi itu sudah ada sejak Rasulullah Saw. Kemudian dilanjutkan pada masa sahabat dan masa tabi’in lalu diteruskan pada masa sesudahnya. Al-jarh wa at-ta’dil telah dimulai sejak masa kenabian dan merupakan sesuatu yang disyariatkan dari Rasulullah Saw atas sebagian rawi-rawi dengan meneliti keta’dilan mereka.
Aktivitas jarh wa ta'dil yang berkembang pada masa awal adalah seputar materi hadis. Dalam perkembangan selanjutnya, kritik terhadap materi tidak lagi dirasakan memadai. Para ulama yang mempunyai perhatian secara khusus terhadap hadis kemudian mengembangkan kritik sanad. Salah satu sebab dari beralihnya aktivitas ulama kepada pengembangan kritik sanad ini menurut Syuhudi Ismail, mempunyai ikatan dengan kemunculan hadis-hadis palsu.
Kemunculan hadis-hadis palsu itu secara erat kaitannya dengan kelompok-kelompok di kalangan umat Islam, menyusul peristiwa terbunuhnya khalifah Ustman bin affan tahun 36 H. dan terbunuhnya Husein bin Ali tahun 61 H. menurut Ibnu Sirrin, sebagaimana dikutip oleh Ali Mustafa Ya'qub, pada mulanya umat Islam tidak pernah menanyakan sanad hadis. Akan tetapi, sejak terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan, umat Islam selalu menanyakan dari siapa hadis itu. Apabila hadis itu berasal dari orang-orang penyebar bid'ah maka mereka menolaknya.
Sedangkan menurut Ibn ’Adi (365 H), ilmu Al-jarh wa at- ta’dil telah ada sejak zaman sahabat. Bahkan menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib, perkembangan ilmu Al-jarh wa at-ta’dil sejaln dengan perkembangan periwayatan daam Islam. Ia mengatakan bahwa para ulama dulu telah membicarakan keadaan-keadaan para perawi. Hal ini identik dengan ilmu Al-jarh wa at-ta’dil yang memang membahas keadaan para perawi itu. Diantara sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah bin Shamit (34 H) dan Anas bin Malik (39 H).
Pada masa tabi’in muncul beberapa ulama yang membahas masalah ini. Di antara para tabi’in yang tercatat membahas jarh wa ta’dil adalah Asy-Sya’bi (103 H) dan Sa’id bin al-Musyaiyab (94 H).
Pada abad ke-2 H, sekitar pasca tahun 150 H, para ahli mulai memperketat dan ramai membicarakan tentang keadaan para perawi ini. Dengan kata lain, perkembangan ilmu jarh wa ta’dil mengalami kemajuan dengan bukti aktivitas para ahli yang semakin giat men-tajdid dan men-ta’dil para perawi. Di antara ulama besar yang memberi perhatian pada masalah ini adalah Yahya bin Said al-Qaththan (189 H) dan Abdurrahman bin Mahdy (198 H).
Generasi sesudahnya adalah Yazin bin Harun (189 H), Abu Daud ath-Thayalisy (240 H) dan Abdurrazaq bin Human (221 H).
Sedangkan penyusunan kitab-kitab tentang jarh wa ta’dil baru dilakukan setelah masa ini, atau sekitar abad ke-3 H. Di antara pemuka-pemuka ilmu jarh wa ta’dil pada masa ini adalah Yahya bin Ma’in (223 H), termasuk pada masa ini adalah Ahmad bin Hambal (241 H), Muhammad bin Sa’ad (230 H), Ali bin Madiny (234 H), Abu Bakar bin Abi Syaibah (235 H), dan Ishaq bin Rahawaih (237 H).
Ulama-ulama lain yang tercatat pada masa itu adalah ad-Darimi (255 H), Al-Bukhari (256 H), Muslim (261 H), Al-Ajali (261 H), Abu Zur’ah (264 H), Abu Daud (257 H), Abu Hatim ar-Razi (277 H), Baqi ibn Makhlad (276 H), dan abu Zur’ah ad-Dimasqi (281 H).
Perkembangan ini terus berlanjut sampai pada masa Ibnu Hajar al-Asqalani (821 H), yang menghasilkan karya Lisan al-Mizan, yang terdiri dari 6 jilid dan memuat kurang lebih 14.343 perawi.

C. Kegiatan Al-Jarh wa' At-Ta'dil
Dalam melakukan penyeleksian terhadp para perawi, para ahli mempergunakan berbagai macam metode untuk menilai adil tidaknya seorang perawi. Diantara metode yang sering dipergunakan adalah:
1. al-amanah wa an-Nazahah fi al-Hukmi (objek dalam melakukan penilaian terhadap perawi).
2. Al-Diqqah fi al-Bahtsi wa al-Hukmi (cermat dan teliti dalam penelitiannya)
3. Iltizam al-Adab fi al-Jarh (tetap memegang etika meskipun dalam menilai cacat perawi).
4. al-Ijmal fi at-Ta'dil wa at-tafshil (Ta'dil dilakukan secara global sedangkan dalam tarjih harus terperinci).

D. Syarat-Syarat bagi yang melakukan Al-Jarh wa At-ta'dil
Bagi orang yang menta'dilkan (mu'addil) dan orang yang men-jarhkan diperlukan syarat-syarat. Yakni:
1. Berilmu pengetahuan
Berilmu pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu, bukan dari segi penguasaan ilmu hadis saja, akan tetapi berbagai cabang dari hadis maupun tafsirnya.
2. Takwa
Takwa yang sebenar-benarnya takwa adalah menjauhi segala laranganNya dan mengerjakan segala perintahNya.
3. wara
Orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat dan dosa-dosa kecil.
4. Jujur
Jujur disini ialah bukan saja meninggalkan dusta kepada sesama manusia akan tetapi jujur untuk hal-hal sekecil apapun.
5. Menjauhi fanatik golongan
Fanatik golongan adalah pembelaan terhadap suatu golongan yang ingin dibelanya, meskipun golongan itu sudah nyata kesalahannya.
6. Mengetahui sebab-sebab untuk menta'dilkan dan untuk mentarjihkan.
Hal inilah yang paling penting bagi ilmu jarh dan ta'dil karena sebelum kita melakukan jarh dan ta'dil kita harus mengetahui sebab-sebab yang ditimbulkannya.

E. Lafazh-lafazh Jarh wa ta’dil dan Tingkatannya
1. Lafazh-lafazh Al-Jarh dan Tingkatannya
a. Kalimat atau atau kata-kata yang menunjukkan cela perawi pada tingkat pertama adalah akzabun nas atau orang yang paling dusta. Kata-kata lain yang setingkat dengannya adalah ilahi muntaha fi alkadzib, manba’ul kadzib, ma’dinul kadzib dan sejenis itu.
b. Selanjutnya kata-kata dibawah tingkatan tersebut di atas adalah seperti dajjal, kadzab atau wudlul’, kata-kata yudla’u atau yakzibu dapat pula dimasukkan dalam tingkatan ini,
c. Tingkatan ketiga biasanya mempergunakan kata-kata seperti fulan yasriqul hadits (ia mencuri hadis), Fulan muttaham bil kadzib (ia tertuduh berdusta), saqth, matruk, halik atau dzahibul hadits. Kata-kata lain adalah la’yu’tabar bihi (tidak dapat dipercaya dan sejenisnya).
d. Keempat adalah kata-kata fulan rudda haditsuhu, mardudul hadits, dha’if jiddan, wahin bi marrah, tharahahu, mathruhul hadits, la tahillu kitabatu haditsihi, laa tahillu ar-riwayah anhu dan laisa bi syat la atau syal’a.
e. Kata-kata yang termasuk pada tingkatan kelima adalah fulan la yuhtajju bihi, dla’afahu, mudltharibul hadis, lahu ma yunkar, lahu manakir, yunkirul hadits atau dla’if.
f. Tingkatan keenam adalah kata-kata yang paling ringan dalam mentajrih (menunjukkan cela rawi). Beberapa kata yang bisa digunakan adalah fihi maqaal, adnaa maqaal, dlu’hifa, yankiru marrah wa ya’rifu ukhra, laisa bihujjah, laisa bi ’umdah, laisa bi ma’mun, laisa bil hafidh, ghairuhu autsaqu minhu, fihi layyinun dan seterusnya.

2. Lafazh-lafazh at-Ta’dil dan Tingkatannya
a. kata-kata yang menduduki tingkat teratas untuk menyatakan bahwa seorang perawi itu tidak ada cacatnya atau bahwa ia dipercaya adalah Autsaqun nas (orang yang paling dipercaya) atau Ilahi Muntaha, Adlbathun nas adalah kalimat La a’rifu lahu nadhiran fi al-dunya (aku tidak mengetahui tandingannya di dunia ini).
b. Tingkat kedua adalah kata seperti fulan La yus’alu ’anhu (sipulan tidak dipertanyakan lagi).
c. Kata-kata yang termasuk tingkatan ketiga adalah tsiqah-tsiqah dan tsabat-tsabat, Ibnu Uyainah menyebut kata tsiqah ini sampai sembilan kali. Masuk dalam tingkatan ini adalah kata-kata tsiqah ma’mun, tsabat, hujjah dan shahih hadis.
d. Tingkat keempat adalah kata-kata tsiqah, tsabat, hujjah, imam, dlabith dan hafidh.
e. Kelima adalah kata-kata laisa bihi ba’sun atau la ba’sa bihi. Kata-kata ini menunjukkan perawi itu kurang hafalannya.
f. Kata-kata yang menduduki derajat keenam dan yang mendekati pencacatan adalah kata laisa bi ba’idin min al sawab, jarwa haditsuhu, muqarabatul hadits, shadiqun insya Allah atau arju an la ba’sa bihi.

F. Teori al-Jarh dan at-Ta'dil
ada beberapa teori yang bisa dijadikan bahan untuk melakukan penelitian hadis, yaitu:
(1)
اتعد يل مقدم على الجرح
Artinya: At-ta’dil didahulukan atas jarh.
Maksudnya: Seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikus yang berisi pujian.
(2)
الجرح مقدم على تعد يل
Artinya: Al-Jarh di dahulukan atas ta’dil
Maksudnya: Seorang periwayat dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan.
(3)
إذا تعا الجرح والمعد ل فالحكم للمعدل الا إذ ثبت الجرحالمفسر
Artinya: Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan mencela disertai penjelasan sebab-sebabnya.
Maksudnya: Seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus dan dicela kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikus yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela itu disertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang bersangkutan.
(4)
إذا كان الجارح ضعيف فلا يقبل جرحه للثقة
Artnya: Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelan adalah orang yang tergolong dha’if, maka kritikannya terhadap orang yang tsiqah tidak dapat diterima.
Maksudnya: Apabila yang mengkritik orang yang tidak tsiqah, maka kritikan orang yang tidak tsiqah tersebut harus ditolak.
(5)
لايقبل الجرح الابعد التثبت خشية الاشباه فى المجروحين
Artinya: Al-Jarh tidak dapat diterima, kecuali setelah ditetapkan (atau diteliti secara cermat) dengan adanya ke khawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya.
Maksudnya: Apabila nama periwayat memiliki kesamaan atau kemiripan dengan nama periwayat yang lain, lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut.
الجرح الناشئ عن عدا وة دنيوية لايعتدبه
Artinya: Al-Jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniaan tidak perlu diperhatikan.
Maksudnya: Apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniaan dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan itu harus ditolak.

G. Kitab-kitab Ilmu al-Jarh wa at-Ta'dil
1. Ma'rifatul Rizal karya Yahya ibn Ma'in. kitab ini termasuk kitab yang pertama sampai kepada kita. Juz pertama kitab tersubut, yang masih berupa manuskrip (tulisan tanagan) berada di Darul kutub adh-Dhariyah.
2. Ad-Dhu'afa karya Imam Muhammad bin Ismail al-bukhari (194-252 H) kitab tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.
3. at-Tsiqat karya Abu Hatim bin Hibban al-Busty (w. 304 H). perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban ini sangat mudah mengadilkan seorang rawi.
4. al-Jarhu wa at-ta'dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim ar-Razy (240-326 H). ini merupakan kitab jarh wa ta'dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat besar faedahnya. Kitab ini terdiri dari 4 jilid besar-besar yang memuat 18.050 orang rawi pada tahun 1373 H.
5. Tarikh al-Kabir, karya imam al-Bukhari (w 256 H) mencakup atas 12315 biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dalam nomor.
6. Lisanu'l-Mizan, karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany (773-852 H) sudah mencakup isi kitab Mizanu'l-'itidal dengan beberapa tambahan yang penting. kitab itu memuat 14.343 orang rijalus-sanad. Ia di cetak di India pada tahun 1329-1331 H dalam 6 jilid.
7. Tahdzib at-Tahdzib, karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 825 H).
8. Al-Dhu’afa karya Ibn Jauzy (597 H).
9. Al-Kamil fi at-Tarikh karya Ibnu katsir.
10. at-Thabaqat karya Muhammad ibn Sa’ad al-Zuhri al-Bashri (230 H).
11. Al-Tsiqat karya Al-Ajali (261 H).

H. Faeedah ilmu Jarh wa Ta'dil
Untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi di jarh oeh para ahli sebagai rawi yang cacat maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis dipenuhi.

KESIMPULAN
Ilmu Jarh dan ta'dil merupakan kontribusi besar yang diberikan oleh para ulama kritikus rawi atau hadis. Kontribusi tersebut berguna bagi para peneliti hadis. Mengingat sangat urgennya ilmu ini, melahirkan kesepakatan umum untuk selalu menjaga otentisitas hadis sebagai sumber pokok ajaran islam kedua setelah al-quran.
Ilmu ini tidak berarti membicarakan keburukan (jarh) seseorang, atau kebaikan (ta'dil), seperti adanya lafal-lafal tertententu sebagai pengkatagorian antara keduannya, tetapi suatu usaha untuk mencegah masuknya hadis-hadis palsu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Secara jelasnya ilmu ini mempelajari bagaimana kita mengoreksi seorang perawi dalam hal meriwayatkan hadis-hadis Nabi, apakah perawi itu dapat dipercaya atau tidak, apakah dhabit, syadz dan lain sebagainya yang berkenaan dengan sifat dan tingkah laku sang perawi.

DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1953.
Ghazali, Muhammad, Ulumul Hadis, Banjarmasin: COMDES, 2002.
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Karim, Abdullah, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Banjarmasin: COMDES, 2005.
Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Munawar, Said Agil Husin, al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT. Ciputat Press. 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar